PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) meminta evaluasi menyeluruh terhadap Paket Ekonomi I hingga XII dengan melibatkan berbagai pihak, terutama kalangan dunia usaha. "Presiden meminta segera dilakukan evaluasi secara menyeluruh paket kebijakan ekonomi itu dengan melibatkan Kadin, Hipmi, pelaku usaha, dan juga regulator untuk melihat hambatan di berbagai hal yang dilakukan," kata Seskab Pramono Anung. (Antara, 9/5/2016)
Evaluasi itu proses yang semestinya. Apalagi, demikian banyak paket ekonomi diluncurkan, pertumbuhan ekonomi kuartal I 2016 justru mengalami kontraksi 0,34%, lebih buruk dari kontraksi kuartal I 2015 sebesar 0,23%.
Di kuartal I 2015, kontraksi terjadi akibat baru dilakukan penghapusan subsidi BBM premium dan APBN tidak bisa dicairkan karena perubahan nomenklatur kementerian. Namun, kuartal I 2016, selain didukung serangkai paket kebijakan, juga pelonggaran kebijakan moneter lewat penurunan giro wajib minimum (GWM) primer bertahap dari 8%, sebelum 1 Desember 2015 menjadi 6,5%, dan pada 16 Maret 2016 diperkuat dengan penurunan suku bunga acuan BI dari 7,5% menjadi 6,75%.
Evaluasi dimaksud mungkin bisa memakai matriks permasalahan dunia usaha yang dijaring Apindo dari 25 asosiasi industri. (CNN Indonesia, 21/9/2015)
Pertama, apakah paket deregulasi telah berhasil mengatasi peraturan yang menghambat dan menimbulkan biaya ekonomi tinggi. Ini dijawab dengan pernyataan Presiden Jokowi di acara Apkasi akhir pekan lalu, saat ini ada 42 ribu aturan pusat dan daerah yang menghambat. (Metrotvnews, 8/5/2016)
Kedua, relaksasi kebijakan kredit perbankan. Untuk ini, program suku bunga kredit single digit masih sebatas retorika. Baru berlaku pada KUR, itu pun dengan subsidi pemerintah, belum real business bank.
Ketiga, kebijakan ketenagakerjaan yang kondusif bagi iklim usaha, termasuk upah minimum yang realistis. Di Jabodetabek, pengusaha mengeluh upah minimum terlalu tinggi, sedangkan buruh mengeluh masih rendah. Jadi, belum kondusif.
Keempat, pemerintah diminta menjaga daya beli masyarakat dengan pengendalian inflasi dan percepatan belanja pemerintah. Inflasi terkendali, tetapi belanja pemerintah masih menyebabkan kontraksi, seperti penilaian BI.
Dengan peranti sederhana itu tampak apa saja yang perlu ditangani. Juga tampak, pemerintah tidak cukup menjadikan semua paket kebijakan itu sebatas political will, tetapi belum berhasil menjadikannya sebagai gerakan dalam tubuh pemerintahan sendiri, pusat, hingga daerah. ***
Di kuartal I 2015, kontraksi terjadi akibat baru dilakukan penghapusan subsidi BBM premium dan APBN tidak bisa dicairkan karena perubahan nomenklatur kementerian. Namun, kuartal I 2016, selain didukung serangkai paket kebijakan, juga pelonggaran kebijakan moneter lewat penurunan giro wajib minimum (GWM) primer bertahap dari 8%, sebelum 1 Desember 2015 menjadi 6,5%, dan pada 16 Maret 2016 diperkuat dengan penurunan suku bunga acuan BI dari 7,5% menjadi 6,75%.
Evaluasi dimaksud mungkin bisa memakai matriks permasalahan dunia usaha yang dijaring Apindo dari 25 asosiasi industri. (CNN Indonesia, 21/9/2015)
Pertama, apakah paket deregulasi telah berhasil mengatasi peraturan yang menghambat dan menimbulkan biaya ekonomi tinggi. Ini dijawab dengan pernyataan Presiden Jokowi di acara Apkasi akhir pekan lalu, saat ini ada 42 ribu aturan pusat dan daerah yang menghambat. (Metrotvnews, 8/5/2016)
Kedua, relaksasi kebijakan kredit perbankan. Untuk ini, program suku bunga kredit single digit masih sebatas retorika. Baru berlaku pada KUR, itu pun dengan subsidi pemerintah, belum real business bank.
Ketiga, kebijakan ketenagakerjaan yang kondusif bagi iklim usaha, termasuk upah minimum yang realistis. Di Jabodetabek, pengusaha mengeluh upah minimum terlalu tinggi, sedangkan buruh mengeluh masih rendah. Jadi, belum kondusif.
Keempat, pemerintah diminta menjaga daya beli masyarakat dengan pengendalian inflasi dan percepatan belanja pemerintah. Inflasi terkendali, tetapi belanja pemerintah masih menyebabkan kontraksi, seperti penilaian BI.
Dengan peranti sederhana itu tampak apa saja yang perlu ditangani. Juga tampak, pemerintah tidak cukup menjadikan semua paket kebijakan itu sebatas political will, tetapi belum berhasil menjadikannya sebagai gerakan dalam tubuh pemerintahan sendiri, pusat, hingga daerah. ***
0 komentar:
Posting Komentar