MENJELANG Ramadan saat orang berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang serbamanis, harga gula pasir di sentra produksi gula nasional, Jawa Timur, terpantau Rp16 ribu/kg. Bahkan di Kota Surabaya, ada yang mencapai Rp17 ribu/kg.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo sampai menginstruksikan instansi yang berkepentingan menggelar operasi pasar besar-besaran karena dikhawatirkan naiknya harga gula menyebabkan inflasi tinggi. (Kompas.com, 27/5/2016)
Sementara Ketua Umum Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil, Jumat (27/5/2016), meminta publik tidak terlalu panik atas naiknya harga gula pasir tersebut. Ia khawatir atas persepsi publik yang panik itu, pemerintah juga panik, lalu mengambil "kebijakan panik" yang justru merugikan masyarakat.
Kebijakan panik dimaksud adalah melegalkan peredaran gula rafinasi di pasaran. "Ini kan bahaya, gula rafinasi adalah gula impor untuk bahan baku industri. Dalam setahun, gula rafinasi ini diimpor hampir 3,5 juta ton," ujar Arum.
Dia memastikan naiknya harga gula tidak menguntungkan petani. "Tebu petani sudah dibeli pemerintah dengan harga Rp9.700/kg, sesuai HPP yang ditetapkan pemerintah. Selisih kenaikan harga lebih banyak dinikmati oleh distributor dan pedagang," kata Arum.
HPP Rp9.700/kg yang disebut Arum itu berarti kenaikan dari HPP sebelumnya Rp8.900/kg. Karena sebagian petani, seperti di PG Jatitujuh, Majalengka, hingga musim giling dimulai 20 Mei 2016 lalu masih mengusulkan agar HPP dinaikkan jadi Rp11 ribu/kg, karena pada hari itu harga gula pasir di pasar setempat sudah Rp14 ribu/kg.
Namun, HPP itu tidak terjamin sepenuhnya diterima petani karena dalam praktik bagi hasil penggilingan tebu rakyat, harga jualnya tergantung hasil lelang. Seperti tahun lalu, para petani yang tergabung dalam PG Gempolkirep, Mojokerto, yang menaungi 30 koperasi petani tebu rakyat (KPTR), meski HPP waktu itu Rp8.900/kg, harga lelang jatuh hanya Rp7.765/kg akibat banyaknya gula rafinasi merembes ke pasar. (Swasembada.net, 12/5/2016)
Itulah bahayanya kalau pemerintah membuat "kebijakan panik" dengan mengizinkan gula rafinasi masuk ke pasar. Bahkan pada 2014, menurut seorang pengurus APTRI Mojokerto, akibat banjir gula rafinasi di pasar, petani merugi hingga 30% dari biaya produksi.
Tetapi siapa bisa menjamin pemerintah tidak membuat "kebijakan panik"? Seperti dalam kasus bawang merah, pemerintah tiba-tiba memutuskan impor, padahal di lapangan panen raya sudah dimulai. ***
0 komentar:
Posting Komentar