Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Kala Kurs Rupiah Seketika Anjlok!

SETELAH berbulan-bulan kurs rupiah bertahan di kisaran Rp13.200—Rp13.300/dolar AS, pekan lalu seketika anjlok ke 13.700/dolar AS. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyebut spekulasi The Fed akan menaikkan suku bunga jadi penyebab pertama. Kedua, banyak perusahaan prinsipal asing di pasar modal membagikan dividen dalam dolar. (Metrotvnews, 29/5/2016)

Tetapi, demikian rapuhkah rupiah sehingga spekulasi The Fed akan menaikkan suku bunga bisa seketika merontokkan kursnya begitu telak? Padahal, rapat Federal Open Market Committee (FOMC) yang menentukan suku bunga The Fed itu baru akan dilakukan 14-15 Juni 2016. Jadi, menurut istilah pejuang zaman revolusi, sebenarnya "Belanda masih jauh!" Juga, dasar spekulasi itu tidak cukup relevan, yakni revisi pertumbuhan ekonomi AS dari 0,5% menjadi 0,8%. 

Begitu pun, nyatanya pukulan terhadap kurs rupiah signifikan. Kemungkinan hal itu terjadi akibat pasar modal Indonesia didominasi asing. "Di pasar modal kepemilikan asing hampir 60%," ujar analis Mandiri Sekuritas, Leo Putra Rinaldy. Itu diperkuat lagi dengan 37% kepemilikan asing pada obligasi pemerintah. Dengan itu, menurut dia, rentan terjadi gejolak (pada rupiah dan pasar modal) ketika ada kenaikan suku bunga di negara maju sehingga dana yang ada di Indonesia keluar menuju negara maju tadi. (Metrotvnews, 28/5/2016) 

Dengan dominasi kepemilikan asing seperti itu, bukan modalnya yang bergerak keluar pun, melainkan dividen yang diterimanya saja ditarik keluar dalam dolar, arusnya terbukti cukup kuat untuk membuat kurs rupiah anjlok seketika sedalam itu. Rentannya rupiah dari ekses dominasi kepemilikan asing di pasar modal dan obligasi pemerintah itu menunjukkan kurs rupiah sebagai salah satu fundamental ekonomi ternyata keropos. 

Dengan masih amat kuatnya ekses dominasi kepemilikan asing itu, tampak kemandirian ekonomi nasional sesuai ideal Trisakti ajaran Bung Karno (berdikari dalam ekonomi) yang ingin diwujudkan pemerintahan Jokowi masih perlu diperjuangkan lebih serius. 

Tak mudah mewujudkan Trisakti (berdikari dalam ekonomi) di tengah neoliberalisme yang menguasai dunia dengan pasar bebasnya. Konon lagi, Indonesia anggota WTO yang terus promosi memasukkan modal asing. 

Anehnya, dalam "paradoks berdikari" itu justru jika yang ditakutkan terjadi, modal asing ramai-ramai keluar, berdikari dalam ekonomi malah bisa terwujud. Namun, hal itu pasti dicegah karena secara ideologis sebenarnya belum matang dengan ajaran Bung Karno. ***

0 komentar: