SUBJEKTIFIKASI itu proses internalisasi suatu kekuasaan hingga personalized—mempribadi. Jika itu terkait kekuasaan hukum, seseorang jadi merasa dirinyalah hukum. Rasa itu bisa mendorongnya laku lajak, unjuk diri sebagai orang yang paling berkuasa dalam penegakan hukum!
Gejala itu terlihat ketika suatu kekuasaan gegabah, bahkan secara demonstratif, bisa melihat kesalahan orang lain sebesar tungau di seberang lautan, tapi kesalahan sebesar gajah pada diri atau kelompoknya selalu ditutupinya.
Ketika seseorang dan kelompoknya menjalankan kekuasaan hukum yang personalized, pelaksanaan hukum menjadi diskriminatif, tebang pilih pada stelsel di luar kelompoknya, sedang orang dalam kelompoknya sendiri meski bermasalah dilindungi!
Namun, kekuasaan personalized bukan hanya di bidang hukum. Bisa terjadi di semua jenis kekuasaan. Kekuasaan bisa personalized ketika tidak ada kekuasaan di atasnya yang mengontrol kekuasaannya dengan baik. Bahkan meski kekuasaan yang personalized itu hanya subordinat dari kekuasaan di atasnya, yang mendelegasikan kekuasaan itu tak mengontrol secara efektif kekuasaan subordinatnya, bisa personalized.
Kekuasaan personalized juga bisa dalam bentuk jamak—berjemaah—seperti pada militer atau polisi tiran, bahkan pada kekuatan mayoritas di parlemen! Namun, dalam kekuasaan personalized karena prinsipnya merupakan encapsulated authoritarian—kekuasaan otoriter terselubung—maka segala tindakan penggunaan kekuasaan personalized itu diselubungi dengan retorika memelintir fakta atau rekayasa untuk mengesankan itu langkah yang benar. Padahal, dengan pelintiran dan rekayasa, itu hanya kebenaran seolah-olah—pseudomatis.
Untuk melihat apakah ada kekuasaan yang personalized, pada skala nasional, daerah maupun lokal, bisa menyimak dinamika setiap kekuasaan apakah dijalankan dengan semestinya secara wajar atau diwarnai retorika plitiran dan rekayasa! Kejelian menguak pseudomatika di balik praktik kekuasaan, kunci kemampuan melihat adanya kekuasaan personalized.
Ketika di suatu negeri ada kekuasaan personalized, kehidupan masyarakatnya akan didominasi oleh apa yang disebut Jaya Suprana kelirumologi, segala sesuatu berjalan serbakeliru. Negeri agraris subur menjadi importir pangan terbesar dunia, negeri maritim mengimpor lebih 90 persen kebutuhan garamnya, terpidana tindak kekerasan jadi pengacara hukum gugatan calon Kapolri, dan lain-lain! ***
Catatan: Tulisan ini pernah terbit pada edisi 24 April 2015.
Ketika seseorang dan kelompoknya menjalankan kekuasaan hukum yang personalized, pelaksanaan hukum menjadi diskriminatif, tebang pilih pada stelsel di luar kelompoknya, sedang orang dalam kelompoknya sendiri meski bermasalah dilindungi!
Namun, kekuasaan personalized bukan hanya di bidang hukum. Bisa terjadi di semua jenis kekuasaan. Kekuasaan bisa personalized ketika tidak ada kekuasaan di atasnya yang mengontrol kekuasaannya dengan baik. Bahkan meski kekuasaan yang personalized itu hanya subordinat dari kekuasaan di atasnya, yang mendelegasikan kekuasaan itu tak mengontrol secara efektif kekuasaan subordinatnya, bisa personalized.
Kekuasaan personalized juga bisa dalam bentuk jamak—berjemaah—seperti pada militer atau polisi tiran, bahkan pada kekuatan mayoritas di parlemen! Namun, dalam kekuasaan personalized karena prinsipnya merupakan encapsulated authoritarian—kekuasaan otoriter terselubung—maka segala tindakan penggunaan kekuasaan personalized itu diselubungi dengan retorika memelintir fakta atau rekayasa untuk mengesankan itu langkah yang benar. Padahal, dengan pelintiran dan rekayasa, itu hanya kebenaran seolah-olah—pseudomatis.
Untuk melihat apakah ada kekuasaan yang personalized, pada skala nasional, daerah maupun lokal, bisa menyimak dinamika setiap kekuasaan apakah dijalankan dengan semestinya secara wajar atau diwarnai retorika plitiran dan rekayasa! Kejelian menguak pseudomatika di balik praktik kekuasaan, kunci kemampuan melihat adanya kekuasaan personalized.
Ketika di suatu negeri ada kekuasaan personalized, kehidupan masyarakatnya akan didominasi oleh apa yang disebut Jaya Suprana kelirumologi, segala sesuatu berjalan serbakeliru. Negeri agraris subur menjadi importir pangan terbesar dunia, negeri maritim mengimpor lebih 90 persen kebutuhan garamnya, terpidana tindak kekerasan jadi pengacara hukum gugatan calon Kapolri, dan lain-lain! ***
Catatan: Tulisan ini pernah terbit pada edisi 24 April 2015.
0 komentar:
Posting Komentar