DALAM buku Aksi Massa tulisan Tan Malaka tahun 1926 di Singapura (Teplok Press, 2000), terdapat bagian kegundahan Empu Sedah. Ahli nujum di Daha masa pemerintahan Raja Jayabaya ini curiga pengaruh luar, terutama bangsa Tionghoa di Jawa pada zamannya.
Empu Sedah menulis, "Sebuah revolusi di Pulau Jawa akan timbul, dipimpin oleh orang yang berkulit kuning dan akan memperoleh kemenangan buat beberapa lama. Akan memerintah seumur jagung."
Di masa Empu Sedah, pengaruh bangsa Tionghoa makin lama bertambah besar. Bangsa Tionghoa itu sedapat mungkin menggunakan bangsawan Jawa sebagai alat memenuhi kepentingan ekonomi mereka, tulis Tan Malaka. Bila maksudnya tak berhasil dengan pengaruhnya itu, ada kalanya dengan jalan revolusi mereka coba merebut negeri. Empu Sedah mengerti betapa kebencian rakyat dan revolusi yang akan pecah.
Di Kerajaan Majapahit banyak perusahaan batik, genting, dan kapal dengan kapital cukup besar. Di beberapa perusahaan bekerja ribuan buruh. Nakhodanya dengan kapal-kapalnya berlayar, sampai Persia dan Tiongkok.
Para saudagar kaya di bandar-bandar, seperti Ngampel, Gresik, Tuban, Lasem, Demak, dan Cirebon adalah bangsa asing atau yang sudah bercampur darah dengan orang Jawa. Nakhoda Dampu Awang, menurut cerita yang berlebihan, punya kapal yang layarnya setinggi Gunung Bonang dan kekayaannya jadi buah bibir, seorang Tionghoa-Jawa.
Penduduk bandar-bandar yang makin maju itu merasa mendapat rintangan dari kaum bangsawan di Ibu Kota. Tapi Jawa sungguh dikungkung ramalan Empu Sedah: "Orang asing akan memimpin."
Dari Gujarat datang Malik Ibrahim ke Gresik tahun 1419 yang membawa agama Islam, disambut warga bagai "durian runtuh" karena ketika itu sedang berapi-api pertentangan warga pesisir dengan Ibu Kota.
Situasi memuncak dengan aksi massa penyerangan yang dipimpin seorang Tionghoa-Jawa, bernama Raden Patah menghancurkan kerajaan. Seorang asing, dengan membawa paham baru (agama Islam) dan untuk mempertahankan kedudukan para saudagar asing di pesisir, berhasil menjatuhkan kerajaan bangsawan.
Kerajaan Demak berdiri dengan masyhurnya! Tapi akhirnya terpecah oleh perang saudara. Jipang bermusuhan dengan Pajang, Demak dengan Mataram. Perang saudara ini berakhir dengan terwujudnya ramalan Empu Sedah, seorang Tionghoa-Jawa bernama Mas Garendi berkuasa di Kartasura.
Aksi massa besar-besaran 4 November 2016 di Jakarta agaknya masih lanjutan kegundahan Empu Sedah atas orang berkulit kuning dan para saudagarnya. ***
Di masa Empu Sedah, pengaruh bangsa Tionghoa makin lama bertambah besar. Bangsa Tionghoa itu sedapat mungkin menggunakan bangsawan Jawa sebagai alat memenuhi kepentingan ekonomi mereka, tulis Tan Malaka. Bila maksudnya tak berhasil dengan pengaruhnya itu, ada kalanya dengan jalan revolusi mereka coba merebut negeri. Empu Sedah mengerti betapa kebencian rakyat dan revolusi yang akan pecah.
Di Kerajaan Majapahit banyak perusahaan batik, genting, dan kapal dengan kapital cukup besar. Di beberapa perusahaan bekerja ribuan buruh. Nakhodanya dengan kapal-kapalnya berlayar, sampai Persia dan Tiongkok.
Para saudagar kaya di bandar-bandar, seperti Ngampel, Gresik, Tuban, Lasem, Demak, dan Cirebon adalah bangsa asing atau yang sudah bercampur darah dengan orang Jawa. Nakhoda Dampu Awang, menurut cerita yang berlebihan, punya kapal yang layarnya setinggi Gunung Bonang dan kekayaannya jadi buah bibir, seorang Tionghoa-Jawa.
Penduduk bandar-bandar yang makin maju itu merasa mendapat rintangan dari kaum bangsawan di Ibu Kota. Tapi Jawa sungguh dikungkung ramalan Empu Sedah: "Orang asing akan memimpin."
Dari Gujarat datang Malik Ibrahim ke Gresik tahun 1419 yang membawa agama Islam, disambut warga bagai "durian runtuh" karena ketika itu sedang berapi-api pertentangan warga pesisir dengan Ibu Kota.
Situasi memuncak dengan aksi massa penyerangan yang dipimpin seorang Tionghoa-Jawa, bernama Raden Patah menghancurkan kerajaan. Seorang asing, dengan membawa paham baru (agama Islam) dan untuk mempertahankan kedudukan para saudagar asing di pesisir, berhasil menjatuhkan kerajaan bangsawan.
Kerajaan Demak berdiri dengan masyhurnya! Tapi akhirnya terpecah oleh perang saudara. Jipang bermusuhan dengan Pajang, Demak dengan Mataram. Perang saudara ini berakhir dengan terwujudnya ramalan Empu Sedah, seorang Tionghoa-Jawa bernama Mas Garendi berkuasa di Kartasura.
Aksi massa besar-besaran 4 November 2016 di Jakarta agaknya masih lanjutan kegundahan Empu Sedah atas orang berkulit kuning dan para saudagarnya. ***
0 komentar:
Posting Komentar