Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Warga Rohingya Korban Radikalis!

GARA-GARA sekelompok kecil radikalis sok jagoan, dengan senjata tajam menyerang pos perbatasan Myanmar menewaskan sembilan orang polisi 9 Oktober 2016. Usai membunuh sembilan polisi itu, mereka kabur membawa senjata api rampasan.
Akibatnya, pemerintah menurunkan militer untuk membasmi perlawanan di kawasan itu. Dengan cara lebih radikal lagi, puluhan warga Rohingya tewas dianiaya militer, wanita diperkosa, seluruh kampung dibakar, dan ribuan warga kocar-kacir lari masuk hutan. (AFP/Kompas.com, 23/11/2016)
Pada awal pembersihan, 30-an warga sipil tewas. Jumlah korban tewas terus bertambah selama pembersihan oleh tentara di desa-desa Negara Bagian Rakhine yang banyak dihuni warga Rohingya. Pemerintah Myanmar menyebut serangan terhadap pos perbatasan itu pemberontakan. Pemerintah menuduh seorang militan radikal yang dilatih Taliban Pakistan memimpin serangan dan menggerakkan ratusan warga Rohingya.
Terbukti, membantu rakyat Rohingya dengan mengirim pejuang, pelatih militer dan senjata, hanya memperburuk nasib warga Rohingya yang tersisa di negeri itu. Karena itu, bantuan kemanusiaan bagi mereka yang tersisa serta yang terusir tanpa kepastian nasibnya, layak diprioritaskan masyarakat internasional. Seiring itu, kalangan pemerintah dan lembaga formal di jalur diplomasi mengusahakan naturalisasi kewarganegaraan mereka sesuai hukum internasional—cukup setelah tinggal lima tahun. Warga Rohingya telah tinggal di Negara Bagian Arakan dan Rakhine, Myanmar, sejak abad VII Masehi, tapi tetap tak diakui sebagai warga negara Myanmar.
Tanpa kewarganegaraan, mereka kesulitan memperoleh hak dan akses kesehatan, pendidikan, dan tempat tinggal. Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), populasi Rohingya mencapai 3 juta jiwa. Sekitar 800 ribu jiwa bermukim di Rakhine yang tergolong paling miskin di Myanmar, sisanya menyebar di banyak negara.
Secara kemanusiaan, Pemerintah Indonesia sudah cukup baik membantu warga Rohingya sejak para nelayan menyelamatkan perahu mereka yang terombang-ambing berlabuh di Aceh. Namun, itu saja jelas tak cukup. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia menjadi amat naif kalau hanya puas menonton penyiksaan terhadap sesama warga muslim yang sudah kelewat batas itu.
Lebih lagi sebagai sejawat anggota ASEAN. Kita hormati prinsip nonintervensi di antara negara ASEAN. Cukup dengan senyum dorong penghormatan norma dan nilai kemanusiaan melalui ASEAN Intergovernmental Commission of Human Right. ***

0 komentar: