KAPAL pengangkut 100-an orang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dari Johor Baru (Malaysia) menuju Batam, karam dekat Batam Rabu (2/11/2016). Sampai Sabtu (5/11/2016) berhasil dievakuasi 54 jenazah korban, sedang 41 orang diselamatkan. Tim SAR masih mencari sisanya yang hilang.
Para korban kebanyakan TKI ilegal yang gagal mendapat pekerjaan di negeri jiran itu. Karena itu, kapal pengangkutnya juga ilegal, untuk muatan sedemikian banyak anak buah kapal (ABK)-nya hanya tiga orang dan oleh terjangan ombak yang sebenarnya tidak terlalu besar di perairan Batam, kapalnya tenggelam.
Drama maut malangnya nasib TKI itu terjadi akibat kurangnya kemampuan negara, dalam hal ini pemerintah, menciptakan cukup lapangan kerja di dalam negeri yang layak untuk penghidupan. Akibatnya, tidak sedikit anak bangsa yang nekat mempertaruhkan nyawa mencari kerja ke luar negeri sebagai TKI ilegal.
Pemerintah, sejak zaman SBY hingga Jokowi sekarang, lazim membanggakan pertumbuhan ekonomi nasional yang tertinggi di dunia, hanya di urutan kedua atau ketiga setelah Tiongkok. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu pun lantas dijadikan justifikasi buat pembiaran nasib malang TKI ilegal.
Pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan itu ternyata tidak diiringi kemampuan menyerap tenaga kerja yang memadai. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Agustus 2011 tingkat pengangguran terbuka (TPT) 6,56% atau 7,70 juta orang. Sedang TPT pada Februari 2016 tercatat 5,5% atau 7,02 juta orang.
Tampak, enam tahun pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan tinggi itu hanya mengurangi TPT 1,06%, sedang jumlah absolutnya belum turun dari level 7 jutaan orang. (Kompas, 1/11/2016)
Juga dua tahun pemerintahan Jokowi, dari TPT Agustus 2014 pada 5,94% atau 7,24 juta orang, TPT Februari 2016 jadi 5,5% atau 7,02 juta orang. Berarti dalam dua tahun hanya mengurangi pengangguran terbuka sebanyak 0,12 juta, alias 120.000 orang saja.
Angka itu jauh di bawah Amerika Serikat (AS) dalam menciptakan lapangan kerja meski baru pulih dari sebagai pusat kriris keuangan dunia 2008 dengan pertumbuhan hanya di kisaran 2% per tahun. Pada Oktober 2016 misalnya, ekonomi AS menyerap 161.000 tenaga kerja baru, bahkan September 2016 menyerap 191.000 orang. Dari puncak krisis 2009 TPT AS mencapai 10%, pada Oktober 2016 turun tinggal 4,9%. (Kompas.com, 5/11/2016)
Jadi, bukan cuma pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tapi, fokus pengelola ekonomi negara dalam penciptaan lapangan kerja, kunci usaha mengurangi nasib malang TKI ilegal. ***
Drama maut malangnya nasib TKI itu terjadi akibat kurangnya kemampuan negara, dalam hal ini pemerintah, menciptakan cukup lapangan kerja di dalam negeri yang layak untuk penghidupan. Akibatnya, tidak sedikit anak bangsa yang nekat mempertaruhkan nyawa mencari kerja ke luar negeri sebagai TKI ilegal.
Pemerintah, sejak zaman SBY hingga Jokowi sekarang, lazim membanggakan pertumbuhan ekonomi nasional yang tertinggi di dunia, hanya di urutan kedua atau ketiga setelah Tiongkok. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu pun lantas dijadikan justifikasi buat pembiaran nasib malang TKI ilegal.
Pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan itu ternyata tidak diiringi kemampuan menyerap tenaga kerja yang memadai. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Agustus 2011 tingkat pengangguran terbuka (TPT) 6,56% atau 7,70 juta orang. Sedang TPT pada Februari 2016 tercatat 5,5% atau 7,02 juta orang.
Tampak, enam tahun pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan tinggi itu hanya mengurangi TPT 1,06%, sedang jumlah absolutnya belum turun dari level 7 jutaan orang. (Kompas, 1/11/2016)
Juga dua tahun pemerintahan Jokowi, dari TPT Agustus 2014 pada 5,94% atau 7,24 juta orang, TPT Februari 2016 jadi 5,5% atau 7,02 juta orang. Berarti dalam dua tahun hanya mengurangi pengangguran terbuka sebanyak 0,12 juta, alias 120.000 orang saja.
Angka itu jauh di bawah Amerika Serikat (AS) dalam menciptakan lapangan kerja meski baru pulih dari sebagai pusat kriris keuangan dunia 2008 dengan pertumbuhan hanya di kisaran 2% per tahun. Pada Oktober 2016 misalnya, ekonomi AS menyerap 161.000 tenaga kerja baru, bahkan September 2016 menyerap 191.000 orang. Dari puncak krisis 2009 TPT AS mencapai 10%, pada Oktober 2016 turun tinggal 4,9%. (Kompas.com, 5/11/2016)
Jadi, bukan cuma pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tapi, fokus pengelola ekonomi negara dalam penciptaan lapangan kerja, kunci usaha mengurangi nasib malang TKI ilegal. ***
0 komentar:
Posting Komentar