SESUAI dengan perkiraan nasabah perbankan syariah merupakan mayoritas yang bakal terpengaruh gerakan rush money, ramai-ramai menarik simpanan di bank pada 25 November 2016 sebagai imbal tuntutan supaya Ahok ditahan, suatu langkah bersama "save bank syariah" harus dilakukan secara terkoordinasi.
Langkah terkoordinasi itu, berarti dalam kendali Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI), adanya suatu tindakan darurat seperti melakukan suspend, yakni menghentikan semua transaksi seketika untuk sementara waktu, bisa dipertanggungjawabkan legalitasnya secara kelembagaan.
Tanpa tindakan darurat suspend yang legal, pengalaman ambruknya perbankan nasional oleh rush nasabah pada 1998 bisa terulang. Andai waktu itu ketika terlihat gejala menjurus rush semua transaksi bisa langsung di-suspend, mungkin realisasinya tidak sedemikian buruk. Karena itu, legalitas atau dasar hukum suspend transaksi di perbankan saat rush harus disiapkan.
Penyelamatan perbankan syariah penting, karena pada 2016 ini pertumbuhan asetnya melejit 17,58% per September menjadi Rp331,76 triliun sehingga pangsa pasar perbankan syariah terhadap perbankan nasional naik dari 4,87% pada akhir 2015 menjadi 5,3% pada akhir September 2016. (Kompas.com, 21/11/2016)
Angka pertumbuhan 5% bagi perbankan syariah itu selama ini dikenal sebagai jebakan yang tak bisa dilewati. Sebagai trapped, angka 5 persen itu belum pernah tercapai sepanjang sejarah perbankan syariah di Indonesia. Pada akhir 2014, misalnya, share bank syariah sudah mencapai 4,89%. Tapi pada Maret dan April 2015 melorot lagi jadi 4,67%. Dan akhir 2015 cuma 4,87%, lebih rendah dari 2014.
Kini justru saat kondisi perbankan syariah sedang bagus-bagusnya, muncul gerakan rush money yang bukan saja mengganggu, malah bisa meruntuhkannya. Untuk mengatasi ancaman itulah, perbankan syariah perlu sekoci penyelamat dari OJK dan BI.
Untuk semua itu, persiapan menghadapi rush money harus matang segala seginya. Tak tepat menyepelekan ancaman itu hanya gertak sambal. Karena dalam situasi seperti ini, sering mereka yang melakukan benar-benar dengan tekad bulat dan idealisme membara. Ada pula yang unjuk militansi dan kemampuan ekonomi di lingkungan perjuangannya.
Model orang seperti itu yang bakal dihadapi, umumnya mereka menuntut layanan prima. Padahal saat suspend diberlakukan, berarti pelayanan ditiadakan. Di situlah klimaks dramanya, semua solusi yang diperlukan untuk mengatasinya harus tersedia. ***
Tanpa tindakan darurat suspend yang legal, pengalaman ambruknya perbankan nasional oleh rush nasabah pada 1998 bisa terulang. Andai waktu itu ketika terlihat gejala menjurus rush semua transaksi bisa langsung di-suspend, mungkin realisasinya tidak sedemikian buruk. Karena itu, legalitas atau dasar hukum suspend transaksi di perbankan saat rush harus disiapkan.
Penyelamatan perbankan syariah penting, karena pada 2016 ini pertumbuhan asetnya melejit 17,58% per September menjadi Rp331,76 triliun sehingga pangsa pasar perbankan syariah terhadap perbankan nasional naik dari 4,87% pada akhir 2015 menjadi 5,3% pada akhir September 2016. (Kompas.com, 21/11/2016)
Angka pertumbuhan 5% bagi perbankan syariah itu selama ini dikenal sebagai jebakan yang tak bisa dilewati. Sebagai trapped, angka 5 persen itu belum pernah tercapai sepanjang sejarah perbankan syariah di Indonesia. Pada akhir 2014, misalnya, share bank syariah sudah mencapai 4,89%. Tapi pada Maret dan April 2015 melorot lagi jadi 4,67%. Dan akhir 2015 cuma 4,87%, lebih rendah dari 2014.
Kini justru saat kondisi perbankan syariah sedang bagus-bagusnya, muncul gerakan rush money yang bukan saja mengganggu, malah bisa meruntuhkannya. Untuk mengatasi ancaman itulah, perbankan syariah perlu sekoci penyelamat dari OJK dan BI.
Untuk semua itu, persiapan menghadapi rush money harus matang segala seginya. Tak tepat menyepelekan ancaman itu hanya gertak sambal. Karena dalam situasi seperti ini, sering mereka yang melakukan benar-benar dengan tekad bulat dan idealisme membara. Ada pula yang unjuk militansi dan kemampuan ekonomi di lingkungan perjuangannya.
Model orang seperti itu yang bakal dihadapi, umumnya mereka menuntut layanan prima. Padahal saat suspend diberlakukan, berarti pelayanan ditiadakan. Di situlah klimaks dramanya, semua solusi yang diperlukan untuk mengatasinya harus tersedia. ***
0 komentar:
Posting Komentar