IRONIS! Justru saat Indonesia mendaulat diri sebagai poros maritim dunia, ribuan kapal terdampar menganggur di tambatan karena tak mendapat muatan barang ekspor untuk diangkut ke luar negeri.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pelayaran Nasional Johnson W Sutjipto mengatakan itu terjadi sejak pemerintah melarang ekspor mineral, bauksit, dan batu bara berbentuk mentah. Akibatnya, sekitar 4.800 unit kapal atau 30% dari 16 ribu kapal yang ada hanya menganggur terparkir di laut, tidak beroperasi. (detikFinance, 14/11/2016)
Undang-undang menetapkan ekspor hasil tambang harus diproses sehingga mendapat nilai tambah. Namun, sampai saat aturan itu berlaku banyak smelter semestinya sudah beroperasi, ternyata belum dibangun. Bahkan lokasi pembangunan smelter-nya ada yang saat itu belum jelas, seperti smelter yang harus dibangun PT Freeport dan Newmont.
Selain itu, adanya penurunan permintaan batu bara dari Tiongkok. Pada saat harga batu bara turun, menurut Johnson, Tiongkok menyepakati perjanjian ramah lingkungan sehingga tidak lagi menggunakan banyak batu bara. Akibatnya 800—1.000 kapal pengangkut batu bara tidak beroperasi, parkir di Samarinda, Kalimantan Timur.
Selain itu, turunnya harga minyak dunia juga berpengaruh terhadap bisnis perkapalan. Menurut dia, berkurangnya permintaan menjadikan sejumlah kapal pengangkut minyak dan gas parkir menganggur di Batam.
Masalah berat dihadapi para pengusaha yang kapalnya menganggur itu bukan hanya wajib tetap membayar gaji pegawai dan ABK, serta listrik, melainkan biaya pemarkiran kapal terkait penerimaan negara bukan pajak (PNPB) yang harus dibayar justru naik 10 kali lipat. "Ini cukup sadis untuk kondisi sekarang," tukas Johnson.
Jelas sadis. Di tengah negara membutuhkan banyak transportasi laut untuk menyatukan pulau-pulau dalam kemakmuran bersama masyarakat nusantara, ribuan kapal aset masyarakat terkapar sia-sia.
Itu terjadi akibat kurangnya pengaturan dalam penghentian ekspor mineral mentah dan kesiapan pembangunan smelter sehingga terjadi kekosongan ekspor. Akibat kelemahan pengaturan pemerintah terhadap dunia usaha itu bukan hanya ribuan kapal ketiadaan muatan, bahkan lebih penting lagi, penerimaan ekspor hasil tambang tersebut lenyap dari ekonomi nasional. Dengan begitu, banyak orang kehilangan penghasilan.
Pelajaran pahit buat bangsa. Selain bantuan prioritas mempercepat penyelesaian smelter, pemanfaatan kapal-kapal itu untuk poros maritim ekonomi nusantara harus diupayakan. ***
Undang-undang menetapkan ekspor hasil tambang harus diproses sehingga mendapat nilai tambah. Namun, sampai saat aturan itu berlaku banyak smelter semestinya sudah beroperasi, ternyata belum dibangun. Bahkan lokasi pembangunan smelter-nya ada yang saat itu belum jelas, seperti smelter yang harus dibangun PT Freeport dan Newmont.
Selain itu, adanya penurunan permintaan batu bara dari Tiongkok. Pada saat harga batu bara turun, menurut Johnson, Tiongkok menyepakati perjanjian ramah lingkungan sehingga tidak lagi menggunakan banyak batu bara. Akibatnya 800—1.000 kapal pengangkut batu bara tidak beroperasi, parkir di Samarinda, Kalimantan Timur.
Selain itu, turunnya harga minyak dunia juga berpengaruh terhadap bisnis perkapalan. Menurut dia, berkurangnya permintaan menjadikan sejumlah kapal pengangkut minyak dan gas parkir menganggur di Batam.
Masalah berat dihadapi para pengusaha yang kapalnya menganggur itu bukan hanya wajib tetap membayar gaji pegawai dan ABK, serta listrik, melainkan biaya pemarkiran kapal terkait penerimaan negara bukan pajak (PNPB) yang harus dibayar justru naik 10 kali lipat. "Ini cukup sadis untuk kondisi sekarang," tukas Johnson.
Jelas sadis. Di tengah negara membutuhkan banyak transportasi laut untuk menyatukan pulau-pulau dalam kemakmuran bersama masyarakat nusantara, ribuan kapal aset masyarakat terkapar sia-sia.
Itu terjadi akibat kurangnya pengaturan dalam penghentian ekspor mineral mentah dan kesiapan pembangunan smelter sehingga terjadi kekosongan ekspor. Akibat kelemahan pengaturan pemerintah terhadap dunia usaha itu bukan hanya ribuan kapal ketiadaan muatan, bahkan lebih penting lagi, penerimaan ekspor hasil tambang tersebut lenyap dari ekonomi nasional. Dengan begitu, banyak orang kehilangan penghasilan.
Pelajaran pahit buat bangsa. Selain bantuan prioritas mempercepat penyelesaian smelter, pemanfaatan kapal-kapal itu untuk poros maritim ekonomi nusantara harus diupayakan. ***
0 komentar:
Posting Komentar