Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Di Balik Surplus, Ekspornya Merosot!

DI balik berita surplus perdagangan, terjadi kemerosotan ekspor dan impor nonmigas Indonesia cukup signifikan, yakni dari nilai ekspor 2011 sebesar 203,49 miliar dolar AS, menjadi 150,37 miliar dolar AS pada 2015. Sedang impor, dari 136,73 miliar dolar AS pada 2011 menjadi 118,12 miliar dolar AS 2015.
Bahkan data BPS 2016, ekspor Januari—Oktober baru 117,09 miliar dolar AS. Kalau ekspor November dan Desember 2016 bisa seperti Oktober sebagai hasil ekspor bulanan tertinggi sepanjang 2016 yakni 12,78 miliar dolar AS, nilai ekspor 2016 masih terendah sejak 2011. (Kompas, 16/11/2016)
Sedang impor Oktober 2016 mencapai 11,47 miliar dolar AS, kalau November dan Desember bisa menyamai Oktober, dengan capaian Januari—Oktober 2016 sebesar 110,17 miliar, kinerja impor pada 2016 bisa lebih baik dari 2015 sebesar 118,12 miliar dolar AS.
Dari data BPS itu layak disimak, tak cukup puas hanya oleh surplus perdagangan kalau nilainya terus merosot, karena skalanya terus mengecil. Dengan kue yang makin kecil dibagi untuk jumlah penduduk yang terus bertambah banyak, bagian per orangnya kian mengecil. Padahal, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, kue nasional itu harus terus diperbesar.
Penurunan laten ekspor itu setidaknya akibat tiga hal, turunnya harga komoditas, terutama batu bara dan karet, melemahnya permintaan akibat krisis ekonomi dunia, dan berlakunya UU No. 4/2009 tentang Larangan Ekspor Mineral dan Batu Bara (Minerba) Mentah mulai Januari 2014 yang tidak diantisipasi dengan baik.
Pemerintah kita lucu, membuat sendiri UU, menetapkan waktu berlakunya lima tahun ke depan (2009 ke 2014) tapi tak mempersiapkan dengan baik peralihannya. Saat Januari 2014 UU berlaku efektif, ribuan usaha tambang menengah ke bawah dengan ratusan ribu pekerja ditutup, ribuan kapal pengangkut ekspornya jadi nganggur—hanya karena langka smelter pemroses mineral.
Masalahnya, biaya membangun smelter mahal, minimum Rp2 triliun per unit. Bahkan tanpa kemauan kuat, smelter raksasa Freeport dan Newmont sampai tahun terakhir belum siap. Apalagi tambang rakyat menengah ke bawah, tak ada yang layak mendapat kredit bank Rp2 triliun untuk membangun smelter.
Semestinya sejak UU disahkan, pemerintah memberi penyertaan modal negara (PMN) ke BUMN terkait untuk membangun setidaknya 10 smelter di seluruh Tanah Air, minerba rakyat tertampung sejak Januari 2014 itu.
Tapi, saat era Jokowi bancakan PMN lebih Rp40 triliun, juga tak ada untuk satu smelter pun. ***

0 komentar: