PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) menyatakan demokrasi kita sudah kebablasan. Demokrasi yang kebablasan itu membuka peluang artikulasi politik yang ekstrem seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, terorisme, serta ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.
"Penyimpangan praktik itu mengambil bentuk nyata seperti kita lihat belakangan ini, politisasi SARA seperti yang disampaikan Pak Osman Sapta Odang (Ketua Umum Partai Hanura), saling memaki dan menghujat kalau diteruskan bisa menjurus pada memecah belah bangsa kita," ujar Jokowi dalam sambutannya pada pelantikan pengurus DPP Partai Hanura di Sentul, Bogor, Rabu. (Kompas.com, 22/2/2017)
Jokowi mengatakan kunci menghadapi demokrasi yang kebablasan ini adalah penegakan hukum. Ia meminta aparat hukum bertindak tegas terhadap setiap pelanggaran yang terjadi, tidak ragu dalam mengusut suatu kasus. Ketegasan diperlukan.
"Aparat hukum harus tegas. Tidak usah ragu-ragu," tegas Jokowi. (detiknews, 22/2/2017)
Mengenai banyaknya hoax atau kabar bohong yang beredar, Jokowi menegaskan jika tidak disikapi dengan tegas, bisa menimbulkan perpecahan. "Ini ujian bagi bangsa kita. Tapi kalau bisa kita lalui dengan baik, ini menjadikan kita semakin matang dan tahan uji," ujar Jokowi.
Menurut Jokowi, dalam 4—5 bulan terakhir tenaga dan pikiran pemangku kepentingan tersita persoalan tersebut. Ia ingatkan tugas utama pemerintah adalah menyejahterakan rakyat. "Jangan sampai kita lupa, seperti dalam 4—5 bulan ini sehingga lupa pada persoalan ekonomi kita," ujar Jokowi.
Politisasi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) seperti disitir Jokowi, memang relevan dengan ekonomi. Hasil survei terbaru Nielsen dalam Nielsen Global Survey of Consumer Confidence and Spending Intention menunjukkan untuk pertama kalinya faktor kekhawatiran terhadap toleransi antaragama muncul pada urutan lima teratas hal-hal yang menjadi kekhawatiran utama konsumen pada kuartal IV 2016. (Kompas.com, 22/2/2017)
Indeks keyakinan konsumen pada kuartal IV 2016 itu turun menjadi 26% dibandingkan kuartal III 2016 sebesar 31%. Hasil survei kuartal IV 2016 menyebutkan sebanyak 25% konsumen mengatakan mereka khawatir akan kondisi toleransi antaragama. Jumlah tersebut sama banyaknya dengan konsumen yang menyatakan khawatir akan kondisi stabilitas politik (25%), meningkat dibandingkan kuartal III 2016 yang hanya 13%.
Jadi, politisasi SARA memecah belah bangsa dan menghancurkan ekonomi. ***
Jokowi mengatakan kunci menghadapi demokrasi yang kebablasan ini adalah penegakan hukum. Ia meminta aparat hukum bertindak tegas terhadap setiap pelanggaran yang terjadi, tidak ragu dalam mengusut suatu kasus. Ketegasan diperlukan.
"Aparat hukum harus tegas. Tidak usah ragu-ragu," tegas Jokowi. (detiknews, 22/2/2017)
Mengenai banyaknya hoax atau kabar bohong yang beredar, Jokowi menegaskan jika tidak disikapi dengan tegas, bisa menimbulkan perpecahan. "Ini ujian bagi bangsa kita. Tapi kalau bisa kita lalui dengan baik, ini menjadikan kita semakin matang dan tahan uji," ujar Jokowi.
Menurut Jokowi, dalam 4—5 bulan terakhir tenaga dan pikiran pemangku kepentingan tersita persoalan tersebut. Ia ingatkan tugas utama pemerintah adalah menyejahterakan rakyat. "Jangan sampai kita lupa, seperti dalam 4—5 bulan ini sehingga lupa pada persoalan ekonomi kita," ujar Jokowi.
Politisasi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) seperti disitir Jokowi, memang relevan dengan ekonomi. Hasil survei terbaru Nielsen dalam Nielsen Global Survey of Consumer Confidence and Spending Intention menunjukkan untuk pertama kalinya faktor kekhawatiran terhadap toleransi antaragama muncul pada urutan lima teratas hal-hal yang menjadi kekhawatiran utama konsumen pada kuartal IV 2016. (Kompas.com, 22/2/2017)
Indeks keyakinan konsumen pada kuartal IV 2016 itu turun menjadi 26% dibandingkan kuartal III 2016 sebesar 31%. Hasil survei kuartal IV 2016 menyebutkan sebanyak 25% konsumen mengatakan mereka khawatir akan kondisi toleransi antaragama. Jumlah tersebut sama banyaknya dengan konsumen yang menyatakan khawatir akan kondisi stabilitas politik (25%), meningkat dibandingkan kuartal III 2016 yang hanya 13%.
Jadi, politisasi SARA memecah belah bangsa dan menghancurkan ekonomi. ***
0 komentar:
Posting Komentar