Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Harga Ikan Asin Salip Daging Sapi!

HARGA ikan asin meroket menyusul harga cabai rawit merah, bahkan menyalip lebih mahal dari harga daging sapi yang bertahan tinggi sejak lama. Di pasar pinggiran Jakarta, seperti Cisalak, Cimanggis, Depok, Minggu (12/2/2017) harga ikan asin teri Medan mencapai Rp140 ribu/kg, padahal saat yang sama harga daging sapi di situ Rp110 ribu/kg.
Juga harga cumi asin naik dua kali lipat, dari semula Rp40 ribu/kg menjadi Rp80 ribu/kg. "Naiknya gila-gilaan, mahalan harga ikan asin malah dibanding daging sapi," ujar Iin (40), yang telah berdagang sayuran dan ikan asin di Pasar Cisalak selama 11 tahun. (Kompas.com, 12/2/2017)
Para pedagang tak tahu kenapa harga ikan asin naik setinggi itu. Mereka hanya menduga karena musim hujan sehingga proses pengeringannya mengalami kesukaran.
Mudahnya harga kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat melonjak tak terkendali, mulai dari bawang, disusul cabai rawit merah, kini ikan asin menimbulkan kesan kurangnya kendali terhadap pasokan aneka kebutuhan hidup sehari-hari itu dari pihak yang bertanggung jawab atas stabilitas harga di pasar.
Pihak itu, tim pengendali inflasi daerah, yang semestinya mencatat kecukupan pasokan dan mekanisme distribusi setiap kebutuhan hidup terkait stabilitas harga di pasar. Lemahnya kendali pasokan sesuai permintaan pasar atas aneka kebutuhan sehari-hari itu cukup aneh karena penguatan peran tim pengendali inflasi daerah itu sudah menjadi pokok masalah dalam debat calon presiden antara Jokowi versus Prabowo Subianto.
Itu berarti terkait lonjakan harga kebutuhan sehari-hari di pasar itu harus kembali digodok di dapur kepresidenan. Karena, seperti dalam kasus harga cabai, kerja antarkementerian—pertanian dan perdagangan, bahkan juga BI selaku penanggung jawab utama inflasi ikut cawe-cawe membina petani cabai, tapi hasilnya tetap kurang memuaskan. Harga cabai malah jadi Rp180 ribu/kg.
Kembalinya ke dapur kepresidenan masalah pengendalian harga aneka kebutuhan rakyat di pasar ini sebagai reorientasi programnya ke rumusan awal waktu kampanye, sebelum menjadi tekanan politik berat: menuntut turunkan harga (seperti yang menjatuhkan rezim Orde Lama).
Artinya, kenaikan beruntun harga kebutuhan hidup sehari-hari rakyat di pasar itu, di balik tekanan distorsi politik yang terus menajam era pilkada serentak terakhir ini, tak boleh disepelekan. Karena meroketnya harga kebutuhan hidup rakyat itu, menurut catatan sejarah, secara politis bisa amat sensitif. ***

0 komentar: