HARGA cabai rawit merah di pasar tradisional daerah, seperti di Pasar Sambi, Boyolali, Jawa Tengah, pada Rabu melonjak hingga Rp160 ribu/kg. (Kompas.com, 8/2/2017) Lebih tinggi lagi di Pasar Glodok, Jakarta, Rp180 ribu/kg. (Okezone, 8/2/2017) Tampak, genitnya harga cabai mengerek naik angka inflasi tak bisa dijinakkan dengan segala usaha pemerintah dan Bank Indonesia (BI).
Dalam usahanya menekan harga cabai yang semakin tak terkendali, pemerintah melalui menteri pertanian telah menebar 10 juta bibit cabai di seantero Tanah Air melalui Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (Iwapi), PKK, dan Wanita Tani Indonesia.
"Kami melakukan pembibitan sayur cabai dan lainnya kemudian semua perempuan Indonesia boleh ambil bibit gratis, kami siapkan 10 juta benih bibit gratis, ini kami siapkan untuk seluruh ibu-ibu di Indonesia," ujar Menteri Pertanian Amran Sulaiman. (Okezone, 17/1/2017)
Lain lagi BI. Selaku penanggung jawab utama pengendalian inflasi, untuk mengakhiri peran cabai sebagai pengerek naik angka inflasi, BI bekerja sama pemerintah daerah membina petani cabai dari Lhokseumawe (NAD), Batubara (Sumut), Pandegelang (Banten), sampai Karangasem (Bali). Tentu saja langkah BI membina petani di seantero negeri ini sangat baik untuk membantu petani bangkit dari keterpurukan. Namun, untuk tujuan menurunkan harga cabai sesuai dengan fungsi BI menjaga inflasi, tampak masih perlu waktu.
Segala usaha pemerintah dan BI itu jelas layak dihargai. Namun, karena harga cabai malah melonjak hingga melampaui batasan tertinggi yang memusingkan Rp150 ribu/kg, kalangan pemerintah terkesan mulai frustrasi, seperti mencari jalan keluar lewat mengubah pola konsumsi dengan substitusi (pengganti) cabai.
Salah satu gagasan demikian datang dari Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Tjahya Widayanti, yang mengimbau masyarakat untuk mengubah pola konsumsi cabai.
Maksudnya, kata dia, mengubah ketergantungan untuk mendapat cita rasa pedas pada makan dengan produk lain. "Perlu dilakukan edukasi konsumen untuk mengubah perilaku konsumsinya," ujar Tjahya Widayanti. (detikFinance, 7/2/2017)
Demikianlah genitnya harga cabai yang sebenarnya amat sederhana, determinannya hanya dua faktor, penawaran dan permintaan (supply and demand), tapi jalan keluar untuk mengatasinya yang digagas malah jauh lebih rumit bahkan butuh waktu: mengubah perilaku! Padahal, untuk tujuan mengubah perilaku, revolusi mental pun sejauh ini masih sebatas retorika. ***
"Kami melakukan pembibitan sayur cabai dan lainnya kemudian semua perempuan Indonesia boleh ambil bibit gratis, kami siapkan 10 juta benih bibit gratis, ini kami siapkan untuk seluruh ibu-ibu di Indonesia," ujar Menteri Pertanian Amran Sulaiman. (Okezone, 17/1/2017)
Lain lagi BI. Selaku penanggung jawab utama pengendalian inflasi, untuk mengakhiri peran cabai sebagai pengerek naik angka inflasi, BI bekerja sama pemerintah daerah membina petani cabai dari Lhokseumawe (NAD), Batubara (Sumut), Pandegelang (Banten), sampai Karangasem (Bali). Tentu saja langkah BI membina petani di seantero negeri ini sangat baik untuk membantu petani bangkit dari keterpurukan. Namun, untuk tujuan menurunkan harga cabai sesuai dengan fungsi BI menjaga inflasi, tampak masih perlu waktu.
Segala usaha pemerintah dan BI itu jelas layak dihargai. Namun, karena harga cabai malah melonjak hingga melampaui batasan tertinggi yang memusingkan Rp150 ribu/kg, kalangan pemerintah terkesan mulai frustrasi, seperti mencari jalan keluar lewat mengubah pola konsumsi dengan substitusi (pengganti) cabai.
Salah satu gagasan demikian datang dari Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Tjahya Widayanti, yang mengimbau masyarakat untuk mengubah pola konsumsi cabai.
Maksudnya, kata dia, mengubah ketergantungan untuk mendapat cita rasa pedas pada makan dengan produk lain. "Perlu dilakukan edukasi konsumen untuk mengubah perilaku konsumsinya," ujar Tjahya Widayanti. (detikFinance, 7/2/2017)
Demikianlah genitnya harga cabai yang sebenarnya amat sederhana, determinannya hanya dua faktor, penawaran dan permintaan (supply and demand), tapi jalan keluar untuk mengatasinya yang digagas malah jauh lebih rumit bahkan butuh waktu: mengubah perilaku! Padahal, untuk tujuan mengubah perilaku, revolusi mental pun sejauh ini masih sebatas retorika. ***
0 komentar:
Posting Komentar