PELAJARAN tersulit jurnalistik pada 1960-an adalah menulis berita sidang pengadilan dengan berbagai pantangan atau tabunya. Tabu-tabu tersebut berdasar sterilitas sidang pengadilan yang tak boleh dipengaruhi opini dari luar sidang, penghormatan pada hakim, hak-hak tersangka terkait asas praduga tak bersalah, hingga perlindungan korban.
Bertolak dari pengalaman itu, jelas aneh kalau sekarang sidang pengadilan bisa dengan seenaknya diprovokasi massa dengan mobil komando (truk bak terbuka) membawa tumpukan kotak besar pengeras suara yang diarahkan ke ruangan sidang seperti yang terjadi di Jakarta belakangan ini.
Para pembicara lewat pengeras suara itu secara terang-terangan memprovokasi sidang pengadilan, bahkan mendikte hakim, sekaligus tak peduli dengan asas praduga tak bersalah.
Apakah hal seperti itu tak bisa digolongkan tindakan contempt of court, menghina dan merendahkan pengadilan, mungkin perlu dibahas para akademisi. Sebagai bandingan, di AS saja, negara asal demokrasi, sampai kini koran hanya bisa memuat sketsa suasana sidang pengadilan hasil coretan tangan dari sisi pandang pelukisnya.
Mengenai tabu-tabu sidang pengadilan itu, dalam kode etik jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (KEJ-PWI), diatur dalam pasal tersendiri. Pertama, isi beritanya tak boleh mengandung opini memengaruhi proses sidang pengadilan yang sedang berjalan.
Kedua, untuk menghormati integritas hakim, kritik terhadap putusan pengadilan hanya bisa dilakukan setelah berkekuatan hukum tetap.
Ketiga, untuk menghormati asas praduga tak bersalah, wartawan harus konsisten menyebut status terdakwa sampai hakim menetapkan putusan atas dirinya. Keempat, jati diri korban kasus asusila, terutama yang di bawah umur, harus dirahasiakan wartawan demi masa depannya.
Semua tabu untuk menghormati muruah dan keterhormatan ruang sidang pengadilan itu dijaga secara saksama dan sungguh-sungguh oleh para jurnalis secara universal. Karena itu, menjadi sangat aneh kalau di negeri ini muruah pengadilan di-down grade alias direndahkan dengan dipelorot sedemikian tragis hingga jadi sasaran bentakan suara tumpukan loudspeaker besar-besar seharian!
Jelas masih perlu pembahasan untuk menjadi kesepakatan bersama, jika bangsa ini memang sudah rela muruah kehormatan ruang sidang pengadilannya direndahkan dengan provokasi sedemikian rupa. Tanpa kecuali, keadilan merupakan tujuan utama kemerdekaan bangsa, terutama keadilan legal-formal. ***
Para pembicara lewat pengeras suara itu secara terang-terangan memprovokasi sidang pengadilan, bahkan mendikte hakim, sekaligus tak peduli dengan asas praduga tak bersalah.
Apakah hal seperti itu tak bisa digolongkan tindakan contempt of court, menghina dan merendahkan pengadilan, mungkin perlu dibahas para akademisi. Sebagai bandingan, di AS saja, negara asal demokrasi, sampai kini koran hanya bisa memuat sketsa suasana sidang pengadilan hasil coretan tangan dari sisi pandang pelukisnya.
Mengenai tabu-tabu sidang pengadilan itu, dalam kode etik jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (KEJ-PWI), diatur dalam pasal tersendiri. Pertama, isi beritanya tak boleh mengandung opini memengaruhi proses sidang pengadilan yang sedang berjalan.
Kedua, untuk menghormati integritas hakim, kritik terhadap putusan pengadilan hanya bisa dilakukan setelah berkekuatan hukum tetap.
Ketiga, untuk menghormati asas praduga tak bersalah, wartawan harus konsisten menyebut status terdakwa sampai hakim menetapkan putusan atas dirinya. Keempat, jati diri korban kasus asusila, terutama yang di bawah umur, harus dirahasiakan wartawan demi masa depannya.
Semua tabu untuk menghormati muruah dan keterhormatan ruang sidang pengadilan itu dijaga secara saksama dan sungguh-sungguh oleh para jurnalis secara universal. Karena itu, menjadi sangat aneh kalau di negeri ini muruah pengadilan di-down grade alias direndahkan dengan dipelorot sedemikian tragis hingga jadi sasaran bentakan suara tumpukan loudspeaker besar-besar seharian!
Jelas masih perlu pembahasan untuk menjadi kesepakatan bersama, jika bangsa ini memang sudah rela muruah kehormatan ruang sidang pengadilannya direndahkan dengan provokasi sedemikian rupa. Tanpa kecuali, keadilan merupakan tujuan utama kemerdekaan bangsa, terutama keadilan legal-formal. ***
0 komentar:
Posting Komentar