MELALUI akun Twitter-nya, penerbit kamus dan buku referensi Merriam-Webster mengoreksi juru bicara Donald Trump, Kellyanne Conway, yang menyalahartikan feminisme.
Dalam konferensi aksi politik konservatif, Conway mengatakan, "Sangat sulit untuk menyebut diriku sendiri sebagai seorang feminis secara klasik karena istilah tersebut terkesan antipria dan proaborsi dalam konteks ini, dan aku tidak antipria dan proaborsi." (Kompas.com, 25/2/2017)
Untuk Conway yang menyamakan istilah feminisme dengan antipria dan antiaborsi, melalui Twitter penerbit Merriam-Webster meluruskan: “Feminism” is defined as "the belief that men and women should have equal rights and opportunities." (“Feminisme” didefinisikan sebagai "kepercayaan bahwa pria dan wanita seharusnya memiliki hak dan kesempatan yang sama")
Teguran Merriam-Webster kepada Conway itu langsung jadi top trending, tak sampai sehari dibagikan kembali lebih dari 11 ribu kali dan disukai lebih 15 ribu orang.
Di Indonesia, pemahaman feminisme yang tak lain adalah emansipasi dan kesetaraan gender itu telah terlembaga secara ideologis, wujud strukturalnya diimplementasikan lewat kementerian di kabinet pemerintahan dengan subordinat kedinasan di daerah, prinsip-prinsip utamanya ditegakkan dan dikawal dengan Komnas Perempuan. Itu karena feminisme dengan makna yang benar seperti ditegaskan Merriam-Webster telah menyala di Indonesia atas sulutan Raden Ajeng Kartini bersamaan dengan berkembangnya faham tersebut di Barat akhir Abad ke-19.
Kesetaraan gender di Indonesia cukup maju, lebih-lebih di dunia pendidikan. Setidaknya dibanding dengan Pakistan yang ada Taliban melarang anak perempuan sekolah, menyiksa Malala karena menolak larangan itu.
Tapi, betapa jauhnya mundur Amerika di bawah Trump, juru bicaranya saja “hari gini” belum tepat mengartikan feminisme. Ironisnya, pada Abad 20 Amerika merupakan pelopor gerakan feminisme, dimulai dengan dicabutnya diskriminasi hak pilih dalam pemilu terhadap perempuan pada tahun 1920.
Pada 1963 buku Betty Friedan The Feminine Mystique membangkitkan feminisme di negeri itu, mendorong lahirnya equal pay right (hak persamaan upah) tahun itu juga. Dan penguatan hak pilih dalam segala bidang, equal right act (1964). Dan akhirnya, Betty Friedan membentuk National Organization for Woman (NOW), 1966. (Wikipedia)
Meski, dalam feminisme sesuai dengan standar Merriam-Webster itu, Indonesia jauh di depan: Kongres Perempuan Indonesia dilakukan pada 22—25 Desember 1928. ***
Untuk Conway yang menyamakan istilah feminisme dengan antipria dan antiaborsi, melalui Twitter penerbit Merriam-Webster meluruskan: “Feminism” is defined as "the belief that men and women should have equal rights and opportunities." (“Feminisme” didefinisikan sebagai "kepercayaan bahwa pria dan wanita seharusnya memiliki hak dan kesempatan yang sama")
Teguran Merriam-Webster kepada Conway itu langsung jadi top trending, tak sampai sehari dibagikan kembali lebih dari 11 ribu kali dan disukai lebih 15 ribu orang.
Di Indonesia, pemahaman feminisme yang tak lain adalah emansipasi dan kesetaraan gender itu telah terlembaga secara ideologis, wujud strukturalnya diimplementasikan lewat kementerian di kabinet pemerintahan dengan subordinat kedinasan di daerah, prinsip-prinsip utamanya ditegakkan dan dikawal dengan Komnas Perempuan. Itu karena feminisme dengan makna yang benar seperti ditegaskan Merriam-Webster telah menyala di Indonesia atas sulutan Raden Ajeng Kartini bersamaan dengan berkembangnya faham tersebut di Barat akhir Abad ke-19.
Kesetaraan gender di Indonesia cukup maju, lebih-lebih di dunia pendidikan. Setidaknya dibanding dengan Pakistan yang ada Taliban melarang anak perempuan sekolah, menyiksa Malala karena menolak larangan itu.
Tapi, betapa jauhnya mundur Amerika di bawah Trump, juru bicaranya saja “hari gini” belum tepat mengartikan feminisme. Ironisnya, pada Abad 20 Amerika merupakan pelopor gerakan feminisme, dimulai dengan dicabutnya diskriminasi hak pilih dalam pemilu terhadap perempuan pada tahun 1920.
Pada 1963 buku Betty Friedan The Feminine Mystique membangkitkan feminisme di negeri itu, mendorong lahirnya equal pay right (hak persamaan upah) tahun itu juga. Dan penguatan hak pilih dalam segala bidang, equal right act (1964). Dan akhirnya, Betty Friedan membentuk National Organization for Woman (NOW), 1966. (Wikipedia)
Meski, dalam feminisme sesuai dengan standar Merriam-Webster itu, Indonesia jauh di depan: Kongres Perempuan Indonesia dilakukan pada 22—25 Desember 1928. ***
0 komentar:
Posting Komentar