HOAX atau berita bohong, ujaran kebencian, fitnah, caci maki, dan memecah belah bangsa yang kian kuat menstigma media sosial justru memperkuat kembali kepercayaan masyarakat terhadap media arus utama yang masyarakat jadikan sebagai rujukan untuk mencari kebenaran berita yang muncul di media sosial.
Tak kepalang, Presiden Joko Widodo secara gamblang dalam sambutannya pada Hari Pers Nasional 2017 mengajak masyarakat untuk bersama-sama menyetop fenomena media sosial berupa berita bohong, hoax, berita yang memecah belah, berita-berita fitnah tersebut. Bersamaan itu, Presiden mengharapkan media arus utama, media mainstream, mampu meluruskan hal yang bengkok-bengkok, menjernihkan kekeruhan yang terjadi di media sosial.
Untuk itu, tukas Jokowi, media arus utama bukan malah ikut larut memungut isu-isu yang belum terverifikasi di media sosial sebagai bahan berita. Contohnya kalau ada trending topic di media sosial justru itu yang dipakai untuk berita (media arus utama) tanpa verifikasi apakah berita itu betul-betul benar atau tidak benar.
Media arus utama, tegas Jokowi, tidak boleh luntur dalam menjunjung tinggi etika jurnalistik, yang menuntut faktualitas, yang menuntut objektivitas, yang menuntut disiplin dalam melakukan verifikasi.
Kecenderungan media sosial yang sedemikian itu bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan itu justru merupakan karakternya yang bersifat universal, di negara-negara lain juga begitu. Akibatnya, menurut penelitian perusahaan keamanan siber, Kaspersky Lab, di 12 negara maju tahun lalu, yang hasilnya sudah dikutip banyak media di Indonesia, sudah banyak orang di negara-negara yang diteliti itu meninggalkan media sosial, baik itu Facebook, Instagram, Twitter, dan sebagainya.
Dengan karakternya yang seperti itu, alasan terbesar orang meninggalkan media sosial (39% dari 4.831 responden online) karena dianggap hanya membuang-buang waktu.
Dalam blog resmi Kaspersky Lab, seperti dikutip Kompas Tekno (4/12/2016), bahkan jampir 78% responden menyatakan mereka sudah mempertimbangkan untuk meninggalkan jejaring media sosial. Salah satu alasannya karena mereka capek dengan pembenci atau haters yang selalu mem-bully.
Namun, sebagai ciri kekinian, media sosial akan tetap eksis mendominasi pemakai secara kuantitatif dengan karakternya itu. Besar dan luasnya pemakai media sosial dengan kecepatannya yang tinggi membuat media arus utama bisa kewalahan meluruskan yang dibengkokkan media sosial. ***
Untuk itu, tukas Jokowi, media arus utama bukan malah ikut larut memungut isu-isu yang belum terverifikasi di media sosial sebagai bahan berita. Contohnya kalau ada trending topic di media sosial justru itu yang dipakai untuk berita (media arus utama) tanpa verifikasi apakah berita itu betul-betul benar atau tidak benar.
Media arus utama, tegas Jokowi, tidak boleh luntur dalam menjunjung tinggi etika jurnalistik, yang menuntut faktualitas, yang menuntut objektivitas, yang menuntut disiplin dalam melakukan verifikasi.
Kecenderungan media sosial yang sedemikian itu bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan itu justru merupakan karakternya yang bersifat universal, di negara-negara lain juga begitu. Akibatnya, menurut penelitian perusahaan keamanan siber, Kaspersky Lab, di 12 negara maju tahun lalu, yang hasilnya sudah dikutip banyak media di Indonesia, sudah banyak orang di negara-negara yang diteliti itu meninggalkan media sosial, baik itu Facebook, Instagram, Twitter, dan sebagainya.
Dengan karakternya yang seperti itu, alasan terbesar orang meninggalkan media sosial (39% dari 4.831 responden online) karena dianggap hanya membuang-buang waktu.
Dalam blog resmi Kaspersky Lab, seperti dikutip Kompas Tekno (4/12/2016), bahkan jampir 78% responden menyatakan mereka sudah mempertimbangkan untuk meninggalkan jejaring media sosial. Salah satu alasannya karena mereka capek dengan pembenci atau haters yang selalu mem-bully.
Namun, sebagai ciri kekinian, media sosial akan tetap eksis mendominasi pemakai secara kuantitatif dengan karakternya itu. Besar dan luasnya pemakai media sosial dengan kecepatannya yang tinggi membuat media arus utama bisa kewalahan meluruskan yang dibengkokkan media sosial. ***
0 komentar:
Posting Komentar