Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

ARSA, Kelompok Militan Rohingya!

TENTARA Pembebasan Rohingya Arakan (Arakan Rohingya Salvation Army [ARSA]) melakukan serangan serentak ke 20 pos militer Myanmar di Distrik Rakhine (bekas wilayah kerajaan muslim Arakan) pada 25 Agustus 2017, menewaskan 32 orang. Serangan ini membuat kejutan, begitu cepat membesarnya kekuatan ARSA dari semula hanya mampu menyerang satu pos menewaskan 9 orang pada Oktober 2016.
Kejutan membesarnya kekuatan ARSA itu membuat respons serangan balik tentara Myanmar jadi berlebihan. Pelapor khusus PBB mengenai situasi HAM di Myanmar telah mengatakan skala penghancuran saat ini jauh melebihi tahun lalu. Lebih 140 ribu orang warga Rohingya meninggalkan rumahnya di Rakhine sejak 25 Agustus 2017 (Kompas.com, 7/9/2017).
Sebelum itu, laporan PBB pada Februari 2017 mendeskripsikan kekejaman yang menghancurkan dari para prajurit yang telah memukuli, memerkosa, dan membunuh orang-orang sejak wilayah Rakhine ditutup setelah serangan Oktober 2016.
Dalam kondisi kemiskinan ekstrem, tanpa kewarganegaraan dan pembatasan gerak orang Rohingya, ARSA yang sebelumnya bernama Harakah al-Yakin, dan sebelumnya bernama lain lagi, selalu lahir kembali untuk membela diri terhadap kaum penindas zaman ke zaman—sejak jatuhnya pemerintahan muslim Arakan oleh invasi Kerajaan Burma 1784. Namun, serangan serentak 25 Agustus 2017 itu terbesar sepanjang sejarahnya.
Pemerintah menyebut kelompok ini teroris dan mengatakan para pemimpinnya dilatih di luar negeri. International Crisis Group (ICG) juga menyatakan para anggota ARSA telah dilatih di luar negeri. Laporan ICG menyiratkan mereka tidak sepenuhnya amatir dan menunjukkan beberapa bukti mereka dibantu oleh beberapa veteran dari konflik lain, termasuk orang-orang dari Afganistan.
ARSA dipimpin Attaulah Abu Anwar Jununi, lahir dari orang tua Rohingya di Karachi, Pakistan, dan dibesarkan di Mekah, Arab Saudi. Juru bicara ARSA membantah ke Asia Times bahwa kelompoknya tak ada hubungan dengan kelompok jihad di luar negeri. Mereka hanya warga Rohingya yang berjuang agar diakui sebagai sebuah kelompok etnik di negeri kelahiran warisan nenek moyang mereka.
Juru bicara itu menambahkan ARSA telah melatih ribuan orang sejak 2013, tapi serangan pertama baru dilakukan Oktober 2016. Mereka menolak label teroris, karena aksi pembelaan itu sejalan dengan prinsip pertahanan diri untuk melindungi warga Rohingya dari penindasan negara, dan mereka tidak menyerang penduduk sipil. ***

0 komentar: