PANGLIMA Tentara Nasional Indonesia (TNI) Gatot Nurmantyo meralat pernyataannya soal pembelian 5.000 pucuk senjata oleh institusi nonmiliter dia dapat dari informasi intelijen. "Pernyataan saya pas acara purnawirawan itu bukan informasi intelijen," ujar Gatot, Rabu (27/9/2017).
Dalam acara reuni dengan purnawirawan, Jumat (22/9/2017), Gatot mengatakan informasi yang dia dapat akurat. Namun, Gatot mengatakan sebuah informasi bisa dikatakan sebagai produk intelijen jika memenuhi sejumlah unsur. "Informasi intelijen harus mengandung siapa, apa yang dilakukan, di mana dilakukan, bilamana dilakukan, di mana," kata Gatot (Kompas.com, 27/9/217).
Pernyataan Gatot itu kemudian viral dan jadi polemik. Menko Polhukam Wiranto meluruskan dengan menyebut yang membeli senjata adalah Badan Intelijen Negara (BIN) untuk pendidikan sebanyak 500 pucuk dan Polri 5.000 pucuk. Ini dikonfirmasi oleh pihak Pusat Industri Angkatan Darat (Pindad).
Di sisi lain, akibat pernyataannya jadi polemik, Gatot dipanggil Presiden Jokowi untuk diminta klarifikasi. Namun, Gatot enggan membeberkan apa yang ia bicarakan dengan Presiden Jokowi dalam pertemuan itu. "Yang saya sampaikan adalah informasi intelijen. Maka hanya Presiden yang boleh tahu," ujar Gatot.
Dengan ralat dari Panglima TNI maka polemik mengenai pembelian senjata oleh instansi nonmiliter bisa dianggap telah selesai. Dengan demikian, suasana hangat polemik yang diperkaya bumbu-bumbu menyulut kecurigaan di antara sesama warga bangsa reda kembali dengan sendirinya. Segala prasangka yang dikarang-karang dan mengada-ada pun hilang relevansinya.
Untuk itu, kita sampaikan salut ke Panglima TNI yang cepat meralat kutipan dari ucapannya yang di luar konteks. Ucapan yang hanya untuk internal TNI dan purnawirawan itu luber ke publik yang tak paham bahasa khas militer sehingga ditanggapi serba salah kaprah. Sudah pun begitu, ada pula yang terkesan berusaha memelintir untuk menimbulkan kepanikan publik.
Namun, karena ketahanan isu masyarakat kita ternyata cukup baik, segala bentuk pelintiran yang dilakukan di media sosial itu tidak berhasil membuat masyarakat menjadi panik. Warga tetap adem-ayem saja.
Dari kasus ini terlihat, masyarakat secara umum mulai paham pada pelintiran isu yang dilakukan di media sosial. Rakyat tak terpengaruh lagi. Sebaliknya, para tukang pelintir yang keasyikan dengan kebiasaan buruknya, tak melihat perubahan masyarakat yang telah menjadi semakin kritis. ***
Pernyataan Gatot itu kemudian viral dan jadi polemik. Menko Polhukam Wiranto meluruskan dengan menyebut yang membeli senjata adalah Badan Intelijen Negara (BIN) untuk pendidikan sebanyak 500 pucuk dan Polri 5.000 pucuk. Ini dikonfirmasi oleh pihak Pusat Industri Angkatan Darat (Pindad).
Di sisi lain, akibat pernyataannya jadi polemik, Gatot dipanggil Presiden Jokowi untuk diminta klarifikasi. Namun, Gatot enggan membeberkan apa yang ia bicarakan dengan Presiden Jokowi dalam pertemuan itu. "Yang saya sampaikan adalah informasi intelijen. Maka hanya Presiden yang boleh tahu," ujar Gatot.
Dengan ralat dari Panglima TNI maka polemik mengenai pembelian senjata oleh instansi nonmiliter bisa dianggap telah selesai. Dengan demikian, suasana hangat polemik yang diperkaya bumbu-bumbu menyulut kecurigaan di antara sesama warga bangsa reda kembali dengan sendirinya. Segala prasangka yang dikarang-karang dan mengada-ada pun hilang relevansinya.
Untuk itu, kita sampaikan salut ke Panglima TNI yang cepat meralat kutipan dari ucapannya yang di luar konteks. Ucapan yang hanya untuk internal TNI dan purnawirawan itu luber ke publik yang tak paham bahasa khas militer sehingga ditanggapi serba salah kaprah. Sudah pun begitu, ada pula yang terkesan berusaha memelintir untuk menimbulkan kepanikan publik.
Namun, karena ketahanan isu masyarakat kita ternyata cukup baik, segala bentuk pelintiran yang dilakukan di media sosial itu tidak berhasil membuat masyarakat menjadi panik. Warga tetap adem-ayem saja.
Dari kasus ini terlihat, masyarakat secara umum mulai paham pada pelintiran isu yang dilakukan di media sosial. Rakyat tak terpengaruh lagi. Sebaliknya, para tukang pelintir yang keasyikan dengan kebiasaan buruknya, tak melihat perubahan masyarakat yang telah menjadi semakin kritis. ***
0 komentar:
Posting Komentar