DI Cimanggis, Depok, Alibaba membangun gudang berlantai 6 hektare, untuk fasilitas logistik bisnis online Lazada, lengkap dengan armada Lazada Express. Di Tanjung Morawa, Sumut, di akses tol Kualanamu, pengembang membangun pergudangan juga untuk logistik bisnis online. Seberapa besarkah bisnis online kita hingga butuh gudang seluas itu?
Semua itu mendukung rencana pemerintah mewujudkan bisnis online atau e-commerce Indonesia mencapai 130 miliar dolar AS atau Rp1.850 triliun pada 2020. Tak kepalang, Jack Ma, sang pemimpin Alibaba Group diangkat sebagai penasihat e-commerce Indonesia. Ia pun menyuntik dana ke Lazada Rp13,3 triliun dan Tokopedia Rp14,66 triliun.
Dia diikuti pesaing utama di negerinya, Ma Huateng dari Tencent Group dengan investasi besar di e-commerce Indonesia melalui Shopee, JD, dan lain-lain. Tujuan terselubung semua itu tentu menjual barang murah dari Tiongkok ke Indonesia. Tapi, mereka menyediakan kios atau lapak online bagi jutaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk jualan produknya di marketplace mereka. Dan, itu bukan hanya jualan di pasar dalam negeri, melainkan juga ke pasar Tiongkok dan negeri lain.
Lantas bagaimana kesiapan UMKM kita untuk itu? Berdasar survei Delloite dan Google 2015, dari 56,5 juta UMKM Indonesia yang dicatat BPS, 9% sudah jualan online. Sedang menurut survei Mc Kinsey Global Institute, setiap UMKM yang go online pertumbuhan bisnisnya minimum dua kali lipat setahun.
Artinya, masih 91% belum kenal bisnis online, hingga secara bertahap perlu dibimbing untuk masuk sarang market place raksasa-raksasa bisnis online dunia memanfaatkan kios dan lapak gratis. Selain Alibaba dan Tencent dari Tiongkok, raksasa bisnis online Amerika, Amazon, juga bersiap masuk Indonesia.
Untuk mewujudkan target mencapai 130 miliar dolar AS pada 2020, pemerintah yakni Kementerian UMKM, Kementerian Kominfo, dan pemangku kepentingan (utamanya para pengelola marketplace) pada 31 Maret 2017 telah merekrut 100 ribu UMKM di 30 kota untuk go online. Lewat program ini, pemerintah berkomitmen untuk meng-online-kan 8 juta UMKM sampai tahun 2020. Diharapkan, hingga akhir 2018 sebanyak 2 juta UMKM sudah go online.
Sayangnya, jutaan UMKM kita go online masuk sarang raksasa asing, padahal kita punya kantor pos yang memiliki sarana logistik lengkap sampai pelosok desa, tapi belum diorientasikan sebagai marketplace yang efektif. Padahal, Singpost (Singapura) sudah memberi contoh sejak lama. ***
Dia diikuti pesaing utama di negerinya, Ma Huateng dari Tencent Group dengan investasi besar di e-commerce Indonesia melalui Shopee, JD, dan lain-lain. Tujuan terselubung semua itu tentu menjual barang murah dari Tiongkok ke Indonesia. Tapi, mereka menyediakan kios atau lapak online bagi jutaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk jualan produknya di marketplace mereka. Dan, itu bukan hanya jualan di pasar dalam negeri, melainkan juga ke pasar Tiongkok dan negeri lain.
Lantas bagaimana kesiapan UMKM kita untuk itu? Berdasar survei Delloite dan Google 2015, dari 56,5 juta UMKM Indonesia yang dicatat BPS, 9% sudah jualan online. Sedang menurut survei Mc Kinsey Global Institute, setiap UMKM yang go online pertumbuhan bisnisnya minimum dua kali lipat setahun.
Artinya, masih 91% belum kenal bisnis online, hingga secara bertahap perlu dibimbing untuk masuk sarang market place raksasa-raksasa bisnis online dunia memanfaatkan kios dan lapak gratis. Selain Alibaba dan Tencent dari Tiongkok, raksasa bisnis online Amerika, Amazon, juga bersiap masuk Indonesia.
Untuk mewujudkan target mencapai 130 miliar dolar AS pada 2020, pemerintah yakni Kementerian UMKM, Kementerian Kominfo, dan pemangku kepentingan (utamanya para pengelola marketplace) pada 31 Maret 2017 telah merekrut 100 ribu UMKM di 30 kota untuk go online. Lewat program ini, pemerintah berkomitmen untuk meng-online-kan 8 juta UMKM sampai tahun 2020. Diharapkan, hingga akhir 2018 sebanyak 2 juta UMKM sudah go online.
Sayangnya, jutaan UMKM kita go online masuk sarang raksasa asing, padahal kita punya kantor pos yang memiliki sarana logistik lengkap sampai pelosok desa, tapi belum diorientasikan sebagai marketplace yang efektif. Padahal, Singpost (Singapura) sudah memberi contoh sejak lama. ***
0 komentar:
Posting Komentar