PRESIDEN Joko Widodo memanggil Ketua OJK dan Gubernur BI, Senin (28/8/2017), ingin suku bunga kredit perbankan lebih rendah dari 10% guna mendorong perekonomian nasional. Saat ini suku bunga kredit masih bercokol di kisaran 12%, padahal sejak medio tahun lalu BI telah menurunkan suku bunga dari kisaran 7,5% hingga dua pekan lalu menjadi 4,5%.
"Arahan Presiden yang jelas supaya suku bunga kredit bisa diturunkan, wong inflasinya sudah rendah, suku bunga BI 7-day sudah 4,5%. Logikanya harus diturunkan yang diikuti penurunan suku bunga deposito," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso usai rapat di Istana (Kompas.com, 28/8/2017).
Logika permintaan Presiden itu, suku bunga acuan BI telah turun 3% dari 7,5% menjadi 4,5%, maka suku bunga kredit juga idealnya diturunkan sebanding dari 12% menjadi di bawah 10%. Selama ini penurunan suku bunga acuan diikuti penurunan suku bunga deposito hingga amat dekat suku bunga acuan.
Saat suku bunga acuan BI 7-day repo rate 4,75%, suku bunga deposito Rp100 juta sampai Rp500 juta tenor 12 bulan tercatat, Bank Mandiri 4,75%, BTN 5,25%, BNI 6,25%, dan BCA 5,00% (bungadeposito.com, 24/8/2017).
Jadi, upaya menurunkan suku bunga kredit sebesar 3% dari 12% menjadi di bawah 10% seperti dipatok Presiden itu, sebanding dengan penurunan suku bunga acuan yang terbukti bisa diikuti dengan penurunan suku bunga deposito yang amat mendekati suku bunga acuan. Kalau terkait suku bunga deposito yang menjadi kewajiban pihak bank kepada nasabah bisa turun, tapi terkait kewajiban nasabah kepada bank tak bisa diturunkan, berarti bank mau enaknya sendiri saja.
Suku bunga kredit di Indonesia 12% dengan suku bunga acuan bank sentral 4,5% itu amat jauh dibanding tetangga di ASEAN; Singapura suku bunga kredit per suku bunga acuan 5,00%/0,99%, Malaysia 4,25%/3,00%, Thailand 6,00%/1,50%, dan Filipina 5,00%/3,00%. Tampak, Indonesia dengan 12%/4,5% paling mencekik nasabah.
Untuk itu, kalau pelaksana otoritas negara di berbagai bidang bisa memberlakukan sistem batas tarif atas dan bawah, bahkan terhadap harga produk milik mayoritas anak bangsa seperti beras bisa ditetapkan harga eceran tertinggi (HET), tak ada alasan yang layak di pertimbangkan jika Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tak bisa menerapkan tarif batas atas dan bawah suku bunga kredit bank yang paling ideal bagi mendorong perekonomian nasional seperti diharapkan Presiden Jokowi. Untuk itu, alasan seindah apa pun harus dibuat. ***
Logika permintaan Presiden itu, suku bunga acuan BI telah turun 3% dari 7,5% menjadi 4,5%, maka suku bunga kredit juga idealnya diturunkan sebanding dari 12% menjadi di bawah 10%. Selama ini penurunan suku bunga acuan diikuti penurunan suku bunga deposito hingga amat dekat suku bunga acuan.
Saat suku bunga acuan BI 7-day repo rate 4,75%, suku bunga deposito Rp100 juta sampai Rp500 juta tenor 12 bulan tercatat, Bank Mandiri 4,75%, BTN 5,25%, BNI 6,25%, dan BCA 5,00% (bungadeposito.com, 24/8/2017).
Jadi, upaya menurunkan suku bunga kredit sebesar 3% dari 12% menjadi di bawah 10% seperti dipatok Presiden itu, sebanding dengan penurunan suku bunga acuan yang terbukti bisa diikuti dengan penurunan suku bunga deposito yang amat mendekati suku bunga acuan. Kalau terkait suku bunga deposito yang menjadi kewajiban pihak bank kepada nasabah bisa turun, tapi terkait kewajiban nasabah kepada bank tak bisa diturunkan, berarti bank mau enaknya sendiri saja.
Suku bunga kredit di Indonesia 12% dengan suku bunga acuan bank sentral 4,5% itu amat jauh dibanding tetangga di ASEAN; Singapura suku bunga kredit per suku bunga acuan 5,00%/0,99%, Malaysia 4,25%/3,00%, Thailand 6,00%/1,50%, dan Filipina 5,00%/3,00%. Tampak, Indonesia dengan 12%/4,5% paling mencekik nasabah.
Untuk itu, kalau pelaksana otoritas negara di berbagai bidang bisa memberlakukan sistem batas tarif atas dan bawah, bahkan terhadap harga produk milik mayoritas anak bangsa seperti beras bisa ditetapkan harga eceran tertinggi (HET), tak ada alasan yang layak di pertimbangkan jika Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tak bisa menerapkan tarif batas atas dan bawah suku bunga kredit bank yang paling ideal bagi mendorong perekonomian nasional seperti diharapkan Presiden Jokowi. Untuk itu, alasan seindah apa pun harus dibuat. ***
0 komentar:
Posting Komentar