Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Oligarki Ditonjolkan Jelang Pilgub!

OLIGARKI, kekuasaan istimewa penguasa inti partai di pusat, ditonjolkan dalam mekanisme kepartaian menjelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Lampung. Penonjolan itu dengan menunjukkan sentralisme kekuasaan partai politik (parpol), bahwa yang berlaku hanya keputusan pusat. Sedang yang datang dari daerah, sekadar aspirasi pun dengan sangat mudah dikesampingkan.
Setidaknya, ada tiga contoh untuk itu. Pertama, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang sebagai langkah awal pilgub melakukan pemilihan raya (pemira) di kalangan konstituennya, untuk mencari calon gubernur terbaik di antara kader partainya. Kalau tak salah, Almuzamil Yusuf mendapat suara terbanyak, terpilih sebagai cagub hasil pemilihan raya PKS daerah ini.
Tapi, rupanya aspirasi konstituen daerah ini tak menyambung dengan kepentingan DPP PKS, sehingga dukungan resmi DPP PKS untuk cagub Lampung diberikan kepada Mustafa, ketua Partai NasDem Lampung.
Kedua, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), DPP mengesampingkan nama-nama tokoh yang diusulkan daerah karena dugaan punya kaitan dengan cagub-cagub tertentu. Sebagai jalan keluarnya, ditunjuk Sudin yang dinilai tak punya kaitan dengan salah satu cagub pun. Tapi, kenyataannya, Sudin ditolak massa lapisan bawah partai karena massa kurang mengenal perjuangan Sudin untuk kepentingan rakyat kelas bawah.
Ketiga Partai Amanat Nasional (PAN) yang tanpa koordinasi dengan pimpinan wilayahnya DPP mengeluarkan rekomendasi kepada Arinal Djunaidi, ketua Partai Golkar Lampung, sebagai cagub. Ini beda dengan aspirasi di wilayahnya, yang ketua DPW PAN Lampung kebetulan wakil gubernur dan setia pada pasangannya jika maju mencalonkan diri lagi pada Pilgub 2018. Tak kepalang, oligarki di PAN penonjolannya jauh lebih terbuka, yakni dengan mencopot ketua DPW tanpa dasar kesalahan, tapi semata demi memuluskan dukungan DPP PAN kepada Arinal Djunaidi.
Masalah dengan praktik oligarki dalam kepartaian di Indonesia, karena itu merupakan kelanjutan sistem sentralisme politik Orde Baru, sehingga bertentangan dengan semangat reformasi yang desentralistik seperti diimplementasikan dengan otonomi daerah. Akibatnya, mekanisme kepartaian yang sentralistik menjadi anomali dengan sistem desentralisasi pemerintahan.
Praktik oligarki yang memaksakan kepentingan sekelompok kecil elite inti DPP itu juga bertentangan dengan sifat dasar demokrasi yang mengutamakan orientasinya pada kepentingan dan kesejahteraan mayoritas rakyat. ***

0 komentar: