HARAPAN perdamaian membersit di Suriah. Presiden Donald Trump mengumumkan menang perang melawan pasukan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) disusul keputusan Trump menarik semua pasukan AS dari Suriah. Berita itu diikuti upaya Turki dan Iran mewujudkan perdamaian di Suriah. Setelah perang saudara bertahun-tahun, segala yang ada di negeri itu luluh lantak bersama tercabik-cabiknya kemanusiaan rakyat dalam kesengsaraan yang tiada tara, apakah cerita perdamaian itu bukan harapan palsu? Upaya mewujudkannya yang menentukan. Masalahnya, negara-negara luar yang terlibat di Suriah itu membuat keputusan bukan berdasar pertimbangan nasib rakyat Suriah, melainkan kepentingan negaranya dalam konkurensi global yang multidimensi. Kalau kepentingan multidimensi negaranya tidak terpenuhi, meski salah satu dimensinya saja, mereka tak peduli betapa buruk sekalipun nasib rakyat Suriah. Di dalam negeri sendiri, perang saudara bersifat sektarian karena rezim Presiden Bashar al-Assad yang syiah memerintah secara otoriter dengan demokrasi yang pseudomatis (hanya seolah-olah) cenderung menindas kelompok suni yang beroposisi hingga melakukan pemberontakan. Rezim Assad mampu bertahan berkat dukungan Iran lewat Hizbulloh yang merasuk dari Lebanon dan serangan udara Rusia ke basis-basis pemberontak. Sementara pemberontak mendapat bantuan dari Turki dan koalisi negara-negara Arab Suni. Di tengah kecamuk itu muncul ISIS yang lahir lengkap dengan mantan jenderal-jenderal Irak yang tersisih dalam rasionalisasi Irak oleh AS. Dalam waktu singkat ISIS menguasai separuh Irak dan Suriah. Pasukan koalisi sekutu AS membantu lewat serangan udara tentara Pemerintah Irak dan pasukan Kurdi yang memerangi ISIS di darat. Bahkan untuk di wilayah Suriah, dengan bantuan serangan udara sekutu AS itu gerilyawan Kurdi mampu mengalahkan ISIS. Di balik pertempuran yang masih berkecamuk di celah puing yang berserakan di seantero Suriah, Presiden Iran Hassan Rouhani dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengikat janji di Ankara akan bekerja sama lebih dekat untuk mengakhiri peperangan di Suriah. Kedua pemimpin dijadwal bertemu sebelum Trump menyatakan menarik pasukan AS dari Suriah. "Ada banyak langkah yang bisa diambil Turki dan Iran bersama-sama untuk menghentikan pertempuran di kawasan itu dan membangun perdamaian," kata Erdogan. Diharapkan, langkah Erdogan dan Rouhani ini menjadi fajar harapan perdamaian yang sejati di Suriah. ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar