TUGAS besar seusai tsunami Selat Sunda 22 Desember 2018 akibat letusan Gunung Anak Krakatau (GAK) yang memicu longsoran 64 hektare salah satu sisi gunung setinggi 170 meter tersebut, adalah menata kembali kehidupan korban bencana. Salah satunya, merelokasi penduduk Pulau Sebesi, pulau terdekat Gunung Krakatau. Tentu saja relokasi dimaksud bukan dengan paksaan. Tapi diprioritaskan mereka yang sudah trauma untuk kembali ke pulau tersebut. Bagi mereka yang memilih untuk tetap tinggal di Pulau Sebesi, pilihannya harus dihormati. Relokasi warga Pulau Sebesi, sebagian kini telah dievakuasi ke gedung tenis indoor Kalianda, adalah sebuah keniscayaan. Sebab, pulau seluas 2620 hektare yang sebagian besar merupakan gunung dan bukit itu berdasar sensus 2011 dihuni 2911 jiwa. Terdiri dari 771 kepala keluarga, 1.636 laki-laki dan 1.277 perempuan. Mereka dalam pemerintahan Desa Tejang, Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan. (Wikipedia) Pulau Sebesi sebuah lokasi di Lampung yang paling lengkap catatan sejarah kepemilikannya pada pemerintah Belanda sejak Abad 16, meski kepemimpinan efektifnya di bawah Sultan Banten. Pulau yang subur itu sudah dihuni banyak penduduk sedemikian rupa sampai 1883, saat Gunung Krakatau meletus besar. Sejak itu kosong dan baru penuh kembali sekarang. Sebelum letusan Krakatau 1883, warga pulau itu oleh Pangeran Cecobaian diwajibkan menanam 500 batang lada setiap keluarga selain tanaman pokok mereka kelapa, karet, dan lainnya. Kewajiban menanam 500 batang lada itu berdasar perintah Sultan Banten untuk kesejahteraan warganya. Dahulu penduduk Pulau Sebesi banyak yang berasal dari Kecamatan Rajabasa, sebab itu untuk relokasi yang tepat mungkin harus di sekitar Kecamatan Rajabasa. Lebih lagi karena pola hidup antara kedua wilayah tidak jauh berbeda, mereka tidak terlalu sulit untuk menyesuaikan diri dengan tempat tinggalnya yang baru. Terpenting dicatat, lokasi perkampungan mereka di Pulau Sebesi tidaklah buruk. Mereka punya jalan lintas desa yang bisa dilalui kendaraan roda empat, mereka punya fasilitas pendidikan dari TK, SD, SMP, dan SMA, punya puskesdes, ada aliran listrik PLN ke rumah-rumah meski hanya sampai pukul 24.00. Penghidupan sehari-hari cukup memadai, setiap hari ada penyeberangan Sebesi—Canti (Kalianda). Artinya, untuk merelokasi wajar disiapkan permukiman baru mereka yang kondisinya tidak terlalu jauh berbeda dengan tempat tinggal yang lama. Juga fasilitas sosial, ekonomi, dan budayanya.
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar