TAHUN 2018 ditandai memanasnya suhu politik nasional menyongsong Pilpres dan Pileg 2019. Bahkan, sebelum masa kampanye resmi tiba, 23 September, atmosfer negeri sudah dicekam retorika provokatif seperti Indonesia akan bubar, hingga provokasi massa gerakan #2019 ganti presiden. Provokasi politikus itu, menurut J. Kristiadi (Kompas, 27/12) mengeksplisitkan suasana kebatinan masyarakat yang miris, cemas, dan dirundung rasa takut (angst psychose) karena histeria hoaks serta kobaran kebencian menjadi santapan sehari-hari. "Ranah publik makin kumuh dan rusuh dengan pemelintiran dan kebohongan telah melebihi kemampuan daya pikul masyarakat," tulisnya. Saat terlewatinya daya pikul masyarakat itu, muncul bencana gempa Lombok, 29 Juli 2018. Sejenak para politikus terhenyak oleh bencana. Seolah bencana itu turun untuk mendinginkan suhu politik. Menurut pengalaman masyarakat Aceh yang mengalami konflik panjang, ketika datang bencana tsunami 26 Desember 2004 mereka segera tersadar bahwa bencana itu sebagai peringatan buat mereka. Mereka pun segera berdamai, mengakhiri konflik. Rupanya beda dengan politikus nasional. Gempa Lombok hanya menghenyak sejenak. Tak lama, bahkan setelah masa kampanye resmi tiba, mereka tak mengubah gagah-gagahan provokasinya. Mungkin batas daya pikul masyarakat terlampaui lebih jauh lagi. Dan, 28 September 2018 tiga bencana serangkai, gempa-tsunami-likuefaksi melanda Sulawesi Tengah, Palu-Donggala-Sigi. Para politikus kembali terhenyak. Tapi ternyata, juga cuma sejenak. Provokasi, hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah tetap menjadi andalan. Sampai akhirnya Gunung Anak Krakatau meletus dan gugurannya memicu tsunami di Selat Sunda 22 Desember. Kebanyakan politikus tentu terhenyak, berduka atas bencana yang berkesinambungan tahun ini. Tapi rupanya ada juga politikus yang mencari kesempatan mengusili Presiden, hanya soal kunjungannya ke lokasi bencana. Harapan tentu, cukuplah dalam 2018 setiap politikus memanaskan situasi, datang bencana mendinginkannya. Doa rakyat jelas, agar tahun 2019 dijauhkan dari pemanasan suhu politik yang harus didinginkan oleh bencana. Idealnya, para politikus bisa mengambil hikmah dari bijaknya masyarakat Aceh menyikapi bencana. Itulah pokok soalnya. Agar ke depan, permainan politik dilakukan dengan cara-cara yang elegan, rasional, bermartabat, sebagai upaya membangun peradaban. Jangan tanya, dentuman peringatan yang sudah tiga kali menggelegar itu buat siapa?***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar