DIREKTUR Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Syarif Hidayat mengungkap fakta yang didapatnya dari para kepala daerah yang menjadi pesakitan di KPK, mahar politik yang harus dikeluarkan seorang calon kepala daerah paling kecil Rp10 miliar. "Nilainya cukup kaget juga saya dengar dari bupati, wali kota yang ditangkap (KPK). Paling kecil Rp10 miliar," kata Syarif dalam Seminar Nasional Mencari Pemimpin yang Bersih dan Berhikmat di Lemhannas. (Kompas.com, 2/2) Kata Syarif, adanya mahar politik mendorong pejabat daerah melakukan korupsi. Pasalnya, para pejabat daerah kerap merasa tidak cukup atas gaji mereka. Sementara, para pejabat ini harus mengembalikan "modal" saat mengikuti pilkada. Oleh karena itu, Syarif menilai harus ada pembenahan dalam sistem pencalonan kepala daerah. Hal lain yang harus dibatasi adalah perihal transaksi tunai. Menurut Syarif, pemerintah harus melakukan pembatasan terhadap transaksi tunai. Alasannya, dari pengalaman OTT yang dilakukan KPK, hampir seluruh uang hasil tindak kejahatan korupsi diterima dalam bentuk tunai. "Kami butuh dukungan dari pemerintah untuk pembatasan transaksi tunai. Ketika tidak ada pembatasan transaksi tunai, OTT-OTT akan selalu terjadi," ujar Syarif. Ia menambahkan pembenahan sistem yang masif dapat memperbaiki indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia. Pada 2018 IPK Indonesia 38 poin, meningkat satu poin dari 2017 pada 37 poin. Tertinggal dari IPK Malaysia 45 poin, dan Singapura 85 poin. Fakta yang diangkat Syarif mengejutkan. Mahar politik calon kepala daerah paling kecil Rp10 miliar itu, dengan gaji resmi kepala daerah Rp8 juta per bulan, berarti mahar politik itu setara dengan gajinya selama 1.250 bulan—alias 104 tahun! Sedemikian beratnya beban calon kepala daerah, wajar jika diasumsikan bisa menjadi pendorong tindak pidana korupsi untuk memikulnya. Pembenahan sistem yang masif seperti saran Syarif, bukan pula berarti pengalihan pemilihan kepala daerah dari pemilihan langsung oleh rakyat menjadi dipilih DPRD, karena jika begitu hubungan dengan penerima mahar tetap terjalin. Jadi tak ada jalan lain, kecuali KPK didukung polisi dan jaksa makin agresif melakukan OTT, sampai orang enggan jadi calon kepala daerah dengan sistem yang sekarang. Hingga suatu saat nanti, pihak pengusung yang mencari calon kepala daerah untuk mereka dukung tanpa mahar. Maka itu, mahar politik itu hanya bisa dihentikan dengan OTT KPK yang lebih masif.***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar