Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Indonesia Negara Serba Charitas!


Artikel Halaman 8, Lampung Post Selasa 17-03-2020
Indonesia Negara Serba Charitas!
H. Bambang Eka Wijaya

MENGHADAPI krisis tiga dimensi--perang dagang, pandemi Covid-19, dan perang harga minyak--yang belum jelas seberapa parah dampak akhirnya, Pemerintah Indonesia membagi-bagikan berbagai charitas (bantuan bersifat amal) untuk meredam goncangan perekonomian nasional.
Charitas adalah bantuan yang diberikan tanpa menuntut balasan atau pengembalian. Charitas terakhir adalah bebas PPh 21 pekerja industri pengolahan dengan gaji sampai Rp16 juta per bulan. Lalu PPh 22 impor untuk 19 sektor industri pengolahan. Kemudian relaksasi PPh 25 dengan pengurangan pajak korporasi 30% untuk industri pengolahan. Semua itu pajaknya ditanggung pemerintah.
Tujuannya supaya masyarakat kelas menengah sektor industri dengan dana charitas itu banyak belanja. Dengan kelompok berduit banyak belanja, ekonomi bergerak melewati krisis multidimensi.
Sebelumnya untuk pariwisata diberi stimulus buat maskapai penerbangan, diskon hingga 50% untuk tiket domestik ke DTW yang ditentukan, dan insentif 50 dolar untuk tiket turis asing. Kemudian kepada influencer disiapkan dana Rp72 miliar untuk kampanye pariwisata melalui medsos di luar negeri.
Mengatasi krisis multidimensi dengan penyebaran dana charitas itu mungkin khas Indonesia. Amerika Serikat saja, ketika krisis keuangam global 2008, yang dibagikan pemerintah kepada bank-bank terkemuka negerinya adalah dana talangan,  yang harus dikembalikan oleh bank penerima setelah ekonomi normal.
Dana charitas, tanpa menuntut penerimanya untuk melakukan sesuatu sebagai imbal baliknya, memang cenderung menjadi tradisi pemerintahan rezim ini untuk mengatasi masalah sosial ekonomi yang kronis. Terakhir ada Kartu Pra Kerja, semacam ATM yang akan dibagikan kepada penganggur.
Berbagai bantuan kepada warga miskin, dari PKH, BPNT, dan bansos-bansos lain nyaris semuanya didistribusikan sebagai charitas--tidak menuntut apa pun sebagai imbal baliknya. Dari semua itu terlihat Indonesia sebagai negara charitas. New Deal AS saja, waktu depresi berat 1930-an, orang harus bekerja di proyek pekerjaan umum untuk mendapatkan bantuan tunai.
Masalahnya, dari mana uang untuk semua charitas itu, ketika ekonomi global gonjang-ganjing, penerimaan negara tersendat? Menurut Menkeu Sri Mulyani, khusus untuk stimulus ekonomi terkait virus korona terakhir adalah tambahan defisit APBN sebesar Rp125 triliun. Sebelum itu, defisit dalam APBN 2020 sebesar Rp307,2 triliun--sebagian besar untuk beragam charitas sepanjang tahun. ***

0 komentar: