Artikel Halaman 8, Lampung Post Sabtu 07-03-2020
Omnibus, Re-Sentralisasi Kekuasaan!
H. Bambang Eka Wijaya
SAAT reformasi, kekuasaan yang sentralistis pada Orde baru di-desentralisasi lewat otonomi daerah dan kekuasaan otonom civil society berbagai komisi independen (dari Komnas HAM, KPU, KPK, sampai KPAI dan lainnya), hingga komunitas pers dengan self regulator, maka lewat Omnibus Law arusnya dibalik menjadi Re-Sentralisasi kekuasaan.
Kata kuncinya pada Pasal 249 RUU Cipta Kerja, Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah (Perkada), tak boleh bertentangan dengan Kebijakan Pemerintah Pusat, selain bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan kesusilaan.
Dijelaskan, Kebijakan Pemerintah Pusat dimaksud yang berkaitan dengan: 1. pelaksanaan program pembangunan. 2. perizinan dan kemudahan berusaha. 3. pelayanan, dan atau 4. pembebanan biaya pelayanan.
Kebijakan Pemerintah Pusat adalah kebijakan Presiden yang diputuskan dalam sidang kabinet atau rapat terbatas atau pelaksanaan dari Instruksi Presiden.
Bila Perda bertentangan dengan rambu-rambu di atas, maka pasal selanjutnya menegaskan bisa dicabut oleh Pemerintah Pusat (dengan Peraturan Presiden).
Sebelumnya, pemerintah sempat membuat regulasi menteri dalam negeri berwenang menghapus perda yang bertentangan dengan UU. Tapi, peraturan itu dibatalkan MK, maka pencabutan perda harus kembali lewat uji materi di MA.
Saat mencanangkan Omnibus Law Presiden Jokowi menyebut ada 42 ribu regulasi yang menghambat ketika ia akan melakukan suatu keputusan. Tampak bakal seperti apa re-sentralisasi terhadap segala aturan produk otonomi daerah.
Proses re-sentralisasi, arus balik dari reformasi yang men-de-sentralisasi kekuasaan, juga mulai terlihat pada komisi independen, lewat pola piece meal engineering--sedikit demi sedikit. Pertama pada KPK, melalui revisi UU KPK, sifat independensinya berupa self regulator telah diakhiri, menjadi diletakkan di bawah kekuasaan Presiden dan Dewas.
Pola piece meal engineering itu juga dicoba lewat Omnibus Law untuk menembus self regulator komunitas pers yang diatur UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Upaya ini bahkan dilakukan lewat "umpan jebakan tikus", yaitu iming-iming lewat Peraturan Pemetintah melakukan tindakan yang lebih tegas terhadap pengganggu kehidupan pers.
Kalau komunitas pers tergiur oleh umpan itu lantas menggigitnya, maka kemerdekaan pers dengan self regulatornya berakhir. Karena, jadi ada peraturan pemerintah yang ikut mengatur pers, kembali seperti di era Orde Baru. ***
0 komentar:
Posting Komentar