Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

PKL, Harus Masuk Program 100 Hari!

"DARI hari ke hari justru semakin seru penindasan aparat pemerintah daerah--Polisi Pamong Praja (Pol. PP)--terhadap pedagang kaki lima (PKL) di seantero Tanah Air!" ujar Umar. "Pada berita yang rutin ditayangnya nyaris semua stasiun televisi nasional itu, setiap kali tak terlihat kepedulian para pejabat pemerintah terutama kepala daerah dan DPRD--terhadap nasib buruk PKL! Pokoknya terkesan seolah memang harus begitu, termasik rekrutmen Pol. PP yang berlebihan juga memang spesialis untuk berantem merangsek PKL!"

"Setiap kali menyaksikan adegan penindasan PKL di televisi kita terkesima, seperti sedang menonton film cerita tentang sebuah bangsa tidak beradab!" sambut Amir. "Sekelompok orang berseragam menyerang sekelompok warga biasa, memukul sesukanya, mengubrak-abrik tanpa kecuali pakai peralatan berat, membakar dan merampas milik orang-orang yang dianiaya itu! Lebih fatal lagi, dalam peristiwa seperti itu sering terlihat polisi sang pelindung rakyat, tapi malah berpihak pada penyiksa yang sedang menyakiti rakyat!"


"Celakanya, atas peristiwa yang serjadi setiap hari di seantero Tanah Air hingga secara nyata telah menjadi masalah nasional menyangkut nasib jutaan pedagang kecil itu, seperti tak cukup kuat mengetuk hati para pemimpin nasional dan daerah untuk mencarikan solusinya!" tukas Umar. "Karena itu, sudah pada tempatnya kalau masalah ini diusulkan menjadi salah satu program 100 hari kabinet baru! Bukan menuntaskan seluruhnya tentu, tapi paling tidak, garis kebijaksanaannya telah tersusun, hingga dalam masa kerja kabinet lima tahun hal ini selesai secara menyeluruh!"

"Sekaligus sebagai ujian penanganan masalah secara lintas sektoral seperti terdesain dalam trilogi Kabinet Indonesia Bersatu II, karena hal ini menyangkut nasib pedagang (di bawah menteri perdagangan dan menkop-UKM), dan pemda (di bawah mendagri), dengan jutaan PKL jualan hasil pertanian lokal dan produk industri domestik!" timpal Amir. "Pada masa Orde Baru, priode 1970-an dan awal 1980-an masalah ini relatif reda karena untuk mengatasi PKL dibangun pasar inpres di tempat-tempat strategis! Seperempat abad ini pembangunan pasar inpres tak dilakukan lagi! Selain pertumbuhan PKL tak terakomodasi, pasar bagi produk pertanian lokal dan industri domestik juga ikut tak berkembang!"

"Kebuntuan PKL ini menimbulkan gejala baru, maraknya pasar tempel di sisi kompleks-kompleks perumahan!" tegas Umar. "Jika tak diantisipasi, ini bisa merebak jadi kawasan kumuh! Maksudnya, selain membangun sejenis pasar Inpres, buat PKL para developer juga diharuskan menyiapkan fasum untuk 'pasar lokal' buat melayani penghuni kompleksnya--syukur jika developer membangun kios untuk dikreditkan! Pasar lokal di lokasi perumahan ini sekaligus mengurangi kepadatan lalu lintas ke pusat kota!"

3 komentar:

29 Oktober 2009 pukul 17.46 darmantokasan mengatakan...

Masalah PKL hampir terjadi disemua negara termasuk negara kaya seperti Kuwait,Malaysia,Singapore dsb(Pengalaman tinggal).Namun disana Satpol PPnya sangat tegas dibarengi dengan opini masyarakat yang mendukung tindakan tersebut.Tapi kita dengan alasan kemiskinan maka menghalalkan segala cara!!padahal para PKL juga melanggar HAM dengan menguasai jalan seperti jagoan untuk bisnis!!Coba kalau tak ada SAtpol PP maka setiap lampu merah,sekolah,rumah sakit dsb menjadi tempat strategis para PKL untuk bisnis.Maka hampir semua kota termasuk Bali menjadi kumuh,semrawut, kotor.seperti tinggal di hutan tak ada aturan.
Untuk para PKL termasuk tukang bakso keliling dsb.Saya ada solusinya.mungkin saya bersama masyarakat setempat melalui wadah koperasi bisa menyediakan beberapa titik berupa tanah lapang dengan biaya sewa murah sebagai usaha PKL tapi dengan syarat ada organisasi PKL dengan anggota yang terbatas dulu,sehingga dapat terkontrol dengan lahan yang tersedia.Dan PKL yang liar adalah musuh bersama dengan dibantu payung hukum pemerintah.Setelah itu PKL harus mau pindah tanpa alasan sepi pengunjung!!atau tetap lagu lama,kembali ketempat2 strategis tanpa sewa dan melanggar HAM.wasalam darmantokasan@yahoo.com

6 November 2009 pukul 16.07 darmantokasan mengatakan...

PASAR INPRES, PASAR TRADISIONAL DAN KEKUMUHAN

Pada dasarnya masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Lampung khususnya belum membutuhkan pasar Inpres ataupun pasar modern yang berlebihan mungkin setiap Propinsi cukup satu saja dulu!!!.Dan di setiap kabupaten masih belum prioritas.

Hampir setiap pasar hanya ramai pembeli dalam masa-masa perayaan seperti menjelang Hari Raya. Diluar hari tersebut hampir semua pasar sepi transaksi (banyak pedagangnya daripada pembelinya) kecuali DKI Jakarta karena uang beredar paling tinggi hanya didaerah tersebut.

Untuk Kota Bandung setiap hari minggu pagi disetiap sudut kota/tanah lapang ada pasar kaget, yang keberadaanya sangat mendorong ekonomi masyarakat, namun sayang keberadaanya masih kurang teratur.

Untuk Kota Bandar lampung PEMKOT selalu dituntut untuk membangun pasar Inpres sebagai tempat lokasi pedagang kakilima dan perbaikan pasar tradisional karena kekumuhan. Biaya pembangunanya sangat besar tentunya!! tapi akhirnya kumuh kembali seperti pasar tradisional dan biaya yang besar akan hilang mubazir!!

Hal ini dikarenakan daya beli masyarakat masih sangat rendah.
Untuk pasar basah untuk wilayah Bandar Lampung sebaiknya cukup hanya satu saja yang dibuka 24 jam dan buka setiap hari seperti di Bambukuning atau Kemiling dan dijadikan pusat pasar borong sayur antar Propinsi!!Dan untuk pasar-pasar lainnya buka dua kali seminggu itupun sudah sepi setelah jam 11 siang.

Penyebabnya adalah daya beli masyrakat sangat rendah dan disamping itu, untuk kebutuhan sehari-hari rumah tangga 80% sudah disuplai oleh pedagang keliling.

Untuk menempatkan pedagang kalki lima seharusnya tidak perlu dibuatkan pasar Inpres, karena rendahnya daya beli masyarakat sehingga omset yang diterima para pedagang kakilima sangat rendah, dan ketidak mampuan untuk menyewa tempat untuk berdagang.

Solusi/Jalan keluar.
Melihat penomena ini yang dibutuhkan para pedagang kakilima yaitu tanah yang lapang (bukan bentuk bangunan gedung). Sebagai perbaikan pasar tradisional yang dibuatkan saluran air yang baik, dan lantainya yang hotmix, mereka hanya buka 2 kali seminggu dengan tenda sementara /temporary.Yang disiapkan sewaktu berdagang, dan di kemas kembali setelah berdagang sehingga mudah untuk dilakukan kebersihan pasar. Ini seperti yang terjadi Souk Khamis Saudi Arabia, Souk Jum,ah Kuwait, dan lain-lain di Timur Tengah seperti Suria, Yordania, Irak dsb, bahkan di Malaysia seperti pasar Salak.

Kalau pemerintah tetap membuat pasar Inpres dimana-mana maka akan menjadikan tempat-tempat kumuh disetiap sudut kota.

Kita hanya perlu hanya tanah lapang untuk parkir kendaraan dan tempat tenda bokar pasang, dan sekeliling tanah lapang tersebut dibangunkan gudang untuk penyimpanan barang-barang para pedagang (bukan ruko atau kios) dan para pedagang sepakat untuk buka 2xseminngu. Untuk hari lainnya para pedagang bisa berdagang ditempat lainya di titik yang sudah ditentukan, secara bergiliran waktu dan harinya.

Kalau Pemerintah daerah belum bisa mengusahakan, bisa diserahkan kepada masyarakat setempat untuk secara bergotong royong berinvestasi lahan untuk dijadikan pasar,sehingga masyarakat setempat juga ikut bertanggung jawab mengatur keberadaan pedagang kakilima untuk masuk keareal perdagangan, dan tidak menjadi pedagang kaki lima liar. Disamping itu masyarakat setempat bisa ikut menikmati hasil sewa lahan tersebut. Masyarakat setempat ikut menjaga kebersihan, ketertiban dan keindahan pasar tersebut. Sehingga tanggung jawab ini tidak hanya ditangani Satpol PP saja.

Nanti kalau daya beli masyarakat sudah baik dan tinggi, maka tidak ada salahnya untuk dibangunkan pasar inpres modern seperti di DKI Jakarta.

Kalau sekarang ini pasar Inpres kumuh, mejadi tempat buang kotoran hewan dan manusia. Disamping ini banyaknya sampah, becek, sarang tikus, saluran air yang tersumbat, bau busuk dan sebagainya. Menjadikan tempat tinggal gelandangaan dan orang gila dsb.

Kalau ide ini bisa terwujub, maka keindahan ,ketertiban kota menjadi milik kita.
Wassalam:darmantokasan@yahoo.com

6 November 2009 pukul 16.11 darmantokasan mengatakan...

Yang harus masuk program 100 hari yaitu jaminan rasa aman kepada warga masyarakat seperti zaman Soeharto dimana penjahat ditembak mati.dan perbaikan infrastruktur:Listrik dan jalan raya.Kalau ini semua diperbaiki pasti ekonomi masyarakat menjadi lebih baik.