Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Paradoks Rendang di Nasi Bungkus!


UMAR membeli nasi bungkus pakai rendang satu potong. Ternyata potongan daging rendangnya kecil, tak sebanding dengan nasinya. Esoknya dia beli dengan rendang dua potong, rendangnya justru besar-besar! Ia ulang-ulang, hasilnya sama!

"Paradoks!" entak Umar. "Ideal atau logisnya kan, kalau pakai satu potong rendangnya besar agar sebanding untuk menghabiskan nasinya! Sedang kalau pakai dua potong diberi yang kecil, paling tidak salah satunya, agar daging tak berlebihan!"

"Meski terlihat cuma faktor subjektif, hal itu justru mencerminkan pelayan restoran brilian!" timpal Amir. "Ia memilah kelompok sosial pembeli nasi bungkus dengan rendang sepotong dan dua potong! Pembeli dengan rendang satu potong ia masukkan kelompok kurang mampu atau massa, biasa makan asal nasinya banyak dengan lauk secuil pun cukup! Sedang pembeli dengan dua potong rendang kelompok mampu atau elite, biasa makan lebih utama lauk ketimbang nasi!"


"Aneh, judgment pelayan itu merefleksikan cara berpikir dan bertindak mayoritas warga bangsa yang cenderung berorientasi elitisme berbasis feodalistik--sistem sosial yang menjustifikasi hak-hak istimewa warga lapisan atas!" tukas Umar.

"Contohnya, jika mayoritas warga lapisan bawah masih megap-megap di garis kemiskinan BPS sekitar Rp190 ribu per jiwa per bulan (setara upah minimum buruh dua anak Rp760 ribu per bulan), dinilai sah dan wajar saja jika anggota DPR menerima (Metro TV, [29-7]) sekitar Rp65 juta per bulan, nyaris 100 kali lipatnya!"

"Artinya, sah dan wajar saja jika mayoritas warga bangsa cuma bisa makan berlauk sepotong tempe, elitenya sekali makan berlauk setara 100 potong rendang!" timpal Amir. "Mayoritas massa pergi dan pulang kerja berimpitan di metro mini atau kereta api, di parkiran mobil DPR dalam tayangan Metro TV berjajar Alphard (Rp700 juta-Rp1,2 miliar) sampai Jaguar--lebih Rp2 miliar!"

"Cara pandang menganggap sah dan wajar saja realitas itu tentu luas implikasinya!" sambut Umar. "Secara umum masyarakat menjadi imun atau menganggap biasa saja elite hidup amat berlebih-lebihan di samudera kemiskinan massa yang bertahan hidup dalam kondisi serbakekurangan!"

"Lebih celaka lagi ketika imunitas itu menguat di kalangan elitenya, mereka bukan saja mati rasa untuk tetap bisa nyaman hidup mewah di atas penderitaan rakyatnya, bahkan lebih gila lagi semakin semata berorientasi bagi peningkatan kenikmatan diri dan kelompoknya! Paradoksnya, mereka ngeyel kampanye pola hidup sederhana mengamalkan amanat penderitaan rakyat!"

0 komentar: