"KENAPA Idulfitri disebut Hari Kemenangan?" tanya cucu. "Apakah ibadah itu seperti tanding bola, ada yang menang dan ada yang kalah, lantas yang menang merayakan kemenangannya?"
"Justru permainan bola itu simulasi dari realitas kehidupan!" jawab kakek. "Dalam permainan bola orang dilatih lalu diuji mentalnya, dari siap menang siap kalah sampai disiplin dan sportif pada aturan main! Sikap mental dari permainan bola itu diimplementasikan dari kehidupan sehari-hari sampai tata cara politik bernegara-bangsa! Puncak implementasinya dalam ibadah, kalah menang jelas ganjarannya—reward dan punishment! Dalam konteks seperti itulah Idulfitri disebut Hari Kemenangan, hari di mana orang mengklaim berhak mendapatkan reward!"
"Di main bola ada wasit mengawasi pelaksanaan aturan main, dalam kehidupan ada aparat hukum, lalu di ibadah, siapa wasitnya?" kejar cucu.
"Justru dalam ibadah wasitnya berlapis!" jawab kakek. "Pengawas formalnya tim malaikat Kiroman-Katibin, sedang wasit efektifnya hati nurani sendiri yang bisa nyemprit jika melanggar aturan main! Tapi seperti halnya dalam bola ada wasit tidak fair, dalam kehidupan nyata ada polisi membiarkan pelanggaran hukum, dalam ibadah juga ada orang yang tak jujur pada hati nuraninya sendiri, alias hipokrit!"
"Lantas bagaimana orang yang hipokrit menyembunyikan kekalahannya itu lalu ikut merayakan Hari Kemenangan?" tanya cucu.
"Justru permainan bola itu simulasi dari realitas kehidupan!" jawab kakek. "Dalam permainan bola orang dilatih lalu diuji mentalnya, dari siap menang siap kalah sampai disiplin dan sportif pada aturan main! Sikap mental dari permainan bola itu diimplementasikan dari kehidupan sehari-hari sampai tata cara politik bernegara-bangsa! Puncak implementasinya dalam ibadah, kalah menang jelas ganjarannya—reward dan punishment! Dalam konteks seperti itulah Idulfitri disebut Hari Kemenangan, hari di mana orang mengklaim berhak mendapatkan reward!"
"Di main bola ada wasit mengawasi pelaksanaan aturan main, dalam kehidupan ada aparat hukum, lalu di ibadah, siapa wasitnya?" kejar cucu.
"Justru dalam ibadah wasitnya berlapis!" jawab kakek. "Pengawas formalnya tim malaikat Kiroman-Katibin, sedang wasit efektifnya hati nurani sendiri yang bisa nyemprit jika melanggar aturan main! Tapi seperti halnya dalam bola ada wasit tidak fair, dalam kehidupan nyata ada polisi membiarkan pelanggaran hukum, dalam ibadah juga ada orang yang tak jujur pada hati nuraninya sendiri, alias hipokrit!"
"Lantas bagaimana orang yang hipokrit menyembunyikan kekalahannya itu lalu ikut merayakan Hari Kemenangan?" tanya cucu.
"Banyak yang begitu! Tapi, hak setiap orang ikut merayakan kemenangan!" tegas kakek. "Soal kebenaran ibadahnya dicatat malaikat Kiroman-Katibin! Sedang kekalahan yang dia sembunyikan itu, sebagaimana umumnya ibadah, merupakan urusan pribadi setiap orang pada Sang Khalik!"
"Kalau begitu, baik pada simulasinya di bola, atau prakteknya dalam kehidupan nyata, maupun sublimasinya dalam ibadah, kemungkinan toleransi pada pelanggaran aturan selalu ada?" tukas cucu.
"Karena semua itu terkait manusia, makhluk yang tak sempurna!" timpal kakek. "Bahwa mungkin ada pelanggaran aturan tak di-follow up wasit tidak membatalkan sang juara, bahwa ada aturan main dilanggar tapi pilkada tetap sah, semua itu tanpa minderheits nota! Beda ibadah! Meskipun setiap orang berhak merayakan Hari Kemenangan dengan menyembunyikan kesalahannya, kesalahan itu tetap dicatat tim malaikat—paling tidak sebagai minderheits nota!"
"Kenapa minderheits nota?" sela cucu.
"Karena banyak kesalahan bisa dimaafkan dalam Idulfitri!" tegas kakek. "Itulah rahmat istimewa Idulfitri! Maka itu, selamat Idulfitri, mohon maaf lahir-batin!" ***
1 komentar:
Siapa saja boleh merayakan kemenangan sa'at Idul Fitri. walau sejatinya Idul Fitri adalah milik orang Islam, nyatanya seluruh umat ikut merayakan. ini adalah bukti bahwa Islam adalah Rahmatan Lil 'Alamiin.
Kemenangan sesungguhnya adalah ketika berakhirnya Ramadhan, kita menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik dari sebelum kita berjumpa dengan Ramadhan. Baik itu dalam hal ibadah kepada sang khalik, maupun hubungan sosial terhadap sesama.t Idul Fitri. walau sejatinya Idul Fitri adalah milik orang Islam, nyatanya seluruh umat ikut merayakan. ini adalah bukti bahwa Islam adalah Rahmatan Lil 'Alamiin.
Kemenangan sesungguhnya adalah ketika berakhirnya Ramadhan, kita menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik dari sebelum kita berjumpa dengan Ramadhan. Baik itu dalam hal ibadah kepada sang khalik, maupun hubungan sosial terhadap sesama.
Posting Komentar