H. Bambang Eka Wijaya
DI tablig akbar, saat pengedar kotak amal lewat, Temin merogoh selembar uang ribuan dari saku celananya. Dari belakangnya seseorang menepuk bahu Temin dan menyodorkan lembaran Rp10 ribuan. Uang itu Temin masukkan ke kotak amal.
"Kok dimasukkan?" entak suara dari belakang.
"Lalu untuk dikemanakan?" sambut Temin.
"Itu uang yang jatuh dari sakumu waktu kau merogohnya tadi!" jelas pria di belakangnya.
"Waduh!" Temin terkejut. "Itu lembaran terakhir uang di kantongku untuk ongkos pulang! Tanpa itu, aku pulang jalan kaki!"
"Rumahmu di mana?" tanya pria di belakang.
"Lewat Pasar Cimeng!" jawab Temin.
"Untung saja!" ujar si pria. "Aku bawa motor ke arah sana! Kalau tidak, kau beneran jalan kaki!"
"Beginilah nasib buruh saat harus berjuang menjadi makhluk sosial-religius!" ujar Temin di bocengan sepeda motor pria tersebut. "Harus menggunakan uang dari porsi kebutuhan lain karena gaji buruh selalu kurang untuk biaya hidup terminim sekalipun, sehingga pada dasarnya tak tersisa untuk mengaktualkan diri sebagai makhluk sosial! Apalagi untuk menghadiri tablig jauh dari rumah begini!"
"Maka itu, Gubernur meminta Dewan Pengupahan menetapkan upah minimum provinsi (UMP) setara kebutuhan hidup layak (KHL)!" sambut pria. "Gubernur tak mengada-ada, karena kubaca di Google, sudah 18 provinsi menerapkan UMP di atas KHL! Di Sumut 110% dari KHL, di Sulut 120%!"
"Tapi, katanya perusahaan tak mampu membayar kalau setara KHL!" timpal Temin.
"Itu cuma mitos yang telanjur membatu di kepala anggota Dewan Pengupahan! Seperti mitos di otak pengusaha, merasa telah menyejahterakan buruhnya dengan menaikkan upahnya setiap tahun, padahal itu cuma penyesuaian dengan inflasi!" tegas pria.
"Perusahaan jadi keenakan membayar upah buruh termurah, tak ada tekanan untuk mengefektif dan efisienkan usahanya! Dengan gaji amat rendah itu kehidupan buruh jadi rentan! Terakhir, beruntun pemogokan buruh terjadi di Lampung, padahal di Sumut yang perburuhannya lebih luas tak terdengar pemogokan seacap di sini!"
"Tapi, apakah ucapan Gubernur itu serius?" tanya Temin. "Bukan cuma asal ngomong agar terkesan seolah-olah membela kaum buruh! Sedang dalam prakteknya, tak berusaha keras dengan kekuasaan yang dimilikinya untuk mewujudkan ucapannya!"
"Semestinya, jajaran birokrasi Pemprov konsekuen berusaha keras mewujudkan ucapan Gubernur, untuk membuktikan pemimpin utama provinsi itu tak terkesan bisanya cuma ngomong!" tegas pria. "Buktikan itu nyata, bukan harapan hampa!" ***
0 komentar:
Posting Komentar