SEORANG bocah dibawa ayahnya minum teh ke warung. Di dinding terpampang tarif minuman, “Teh Panas Rp2.000; Teh Dingin Rp3.000,”. Takut dimarah ayahnya karena harus membayar Rp3.000, gara-gara minumannya dingin, si bocah cepat-cepat meminum tehnya selagi panas. Justru karena itu ia ditegur ayahnya, "Awas lidahmu bisa nyonyot minum terlalu panas!"
Si bocah menunjuk tarif di dinding. "Oh, itu!" ayah terbahak, lantas menjelaskan maksudnya.
"Tapi ada juga ungkapan minum tehnya selagi panas bertujuan positif!" sela pemilik warung. "Contohnya Menkumham baru Amir Syamsuddin dan wakilnya Denny Indrayana yang menetapkan kebijakan moratorium remisi—pengurangan hukuman—bagi koruptor dan teroris, dilakukan selagi teh masih panas—warga sedang menunggu apa yang mereka lakukan setelah dilantik!"
"Kalau pengganti Menkumham relatif lebih mudah minum teh selagi panas, karena banyak langkah menkumham lama yang kurang populer!" timpal ayah. "Salah satunya ketika tim antimafia hukum kepresidenan menemukan 'istana' di LP Pondok Bambu, seharusnya Kepala LP-nya dipecat, tapi diserahkan pada tindakan atasannya—yang akhirnya ternyata cuma dimutasi!"
"Menteri di pos baru yang agak sulit minum teh selagi panas dari langkah kurang populer menteri yang digantikannya, mungkin Mentamben!" tukas pemilik warung. "Karena mentamben lama terlalu gigih hingga tak henti mencanangkan program negosiasi ulang bagi hasil kontrak pertambangan asing yang kurang adil bagi pihak Indonesia, hingga meresahkan investor! Kalau kasus itu dipungut oleh menteri penggantinya dan diputar-balik untuk menenteramkan investor, malah bisa meresahkan rakyat luas!"
"Siapa sangka masalah negosiasi ulang kontrak pertambangan itu menjadi buah simalakama—dilanjutkan investor gundah, tak diteruskan rakyat gelisah!" timpal ayah. "Konon lagi masalah ini tengah menyulut ketegangan di Papua, di mana kontrak Freeport bagi hasil untuk tembaga pemerintah RI cuma dapat 3%, bahkan untuk emas bagian RI hanya 1%!"
"Tapi teh selagi panas yang harus diminum dalam kasus Freeport justru pemberian uang Freeport kepada Polri sebanyak 14 juta dolar AS!" tukas pemilik warung. "Itu dianggap kurang adil: Polri jadi 'polisi bayaran' bagi kepentingan asing, yang dihadapi rakyat Papua, warga RI! Sudahlah rakyat Papua tak dapat apa-apa tujuh gunung emasnya dikeruk, dihadapkan pada 'polisi bayaran' pula!" ***
0 komentar:
Posting Komentar