"DISKURSUS lewat media massa hari-hari terakhir ini menyodokkan keyakinan baru ke lubuk kesadaran awam bahwa dalam demokrasi haram berbeda pendapat, sehingga jika ada yang beda pendapat harus didepak dari paguyuban demokrasi!" ujar Umar. "Dengan keyakinan baru itu demokrasi berwajah monolitik, bahkan berdimensi tunggal—ada siang tak ada malam, ada pagi tak ada sore, ada terang tak ada gelap, dan seterusnya!"
"Dengan berdimensi tunggal demikian, demokrasi bertentangan dengan hukum alam yang berporos pada sebab-akibat!" sambut Amir.
"Bahkan hanya berporos pada sebab-akibat saja tak cukup bagi perkembangan peradaban manusia, maka itu muncul dimensi ketiga—sintesis, yang justru merupakan hasil proses pergumulan tesis dan antitesis! Kata kunci berkembangnya peradaban lewat proses causal-dialektis (tesis-antitesis-sintetis) itu justru skeptisisme, setiap tesis diragukan dan harus dibuktikan salah lewat antitesis, lalu antitesis dibuktikan salah lagi lewat sintesis!
Ketika sistesis diklaim tak boleh diganggu apalagi dibuktikan salah oleh tesis baru, sikap itu tak hanya membunuh demokrasi, tapi malah menggali lahat peradaban!"
"Sampai di situ diskursus kembali ke esensi soal, kekuasaan hanya berorientasi melestarikan kekuasaan dengan segala cara, sedang demokrasi mendorong peradaban dengan perputaran dialektis tesis-antitesis-sintesis yang berkelanjutan!" tegas Umar.
"Demokrasi dimensi tunggal jadi berbahaya ketika terjadi dominasi tafsir, salah satu tafsir yang diklaim paling benar dipaksakan pada semua pihak, tanpa kecuali itu menyangkut kepentingan bersama dalam kehidupan bernegara-bangsa! Dipaksakan, karena mau benarnya sendiri saja, kritik dan protes lewat gelombang besar aksi damai di seantero negeri tak digubris dan tak coba ditarik hikmahnya sedikit pun! Jadi berbahaya, karena kritik dan protes yang bertolak dari perbedaan pendapat didorong untuk bentrok melawan kekuatan-kekuatan kekerasan milik negara, hingga rakyat yang bersusah payah membelanjai kekuatan-kekuatan negara itu diposisikan pada dilema senjata makan tuan!"
"Klimaks demokrasi berdimensi tunggal yang mau benar sendiri untuk menang sendiri itu terjadi ketika pihak yang berbeda pendapat dengan sang dominan dicap pengkhianat!" timpal Amir. "Pada posisi itu, jalan yang ditempuh sang dominan jelas menyimpang dari kaidah dan norma demokrasi karena mengharamkan perbedaan—konon lagi itu dilakukan di bawah kibaran panji Bhinneka Tunggal Ika, kewajiban menghormati perbedaan justru untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa!" ***
0 komentar:
Posting Komentar