"HEBOH penaikan harga BBM dari protes di jalanan seantero negeri sampai paripurna DPR memberi isyarat, penguasa tak memahami penderitaan rakyatnya!" ujar Umar. "Standar penguasa untuk pemenuhan kebutuhan hidup rakyat selalu di bawah survival—tak cukup untuk hidup! Misalnya, anggaran panti asuhan tiga ons beras dan uang seikat bayam/orang/hari, berlaku seumur-umur!"
"Dalam kenaikan harga BBM terakhir menilai kompensasi Rp150 ribu/bulan/keluarga cukup untuk menutupi kekurangan akibat kenaikan harga BBM 33%!" timpal Amir. "Jadi, Rp5.000/hari/keluarga, kalau rata-rata keluarga mempunyai empat jiwa Rp1.250/orang, untuk menambah ongkos angkot atau ojek dua anak ke sekolah yang ikut naik harga BBM, tak cukup! Bagaimana harus menutupi kekurangan belanja dapur dan kebutuhan pokok lainnya yang harganya naik terkatrol harga BBM, tak ada solusi! Akhirnya kualitas dan kuantitas konsumsinya yang dikurangi, hingga penderitaan rakyat yang sudah serbakekurangan nian jadi semakin parah!"
"Hal itu terjadi oleh kebiasaan penguasa melihat segala sesuatu lewat angka-angka kuantitatif!" tegas Umar. "Sebenarnya kebiasaan itu tak buruk, bahkan standar hidup bagi pemimpin modern! Celakanya, angka-angka kuantitatif itu di negeri terbelakang sering diperoleh lewat proses yang tereduksi berbagai kepentingan! Akibatnya, angka yang dihasilkan jauh dari realitas sebenarnya, hingga ketika dijadikan dasar membuat kebijakan oleh penguasa, menjadi tak manusiawi!"
"Contoh angka kuantitatif yang tereduksi berbagai kepentingan itu, pengangguran!" timpal Amir.
"Seseorang tak masuk kategori penganggur jika dalam seminggu bekerja selama dua jam! Kalau artis satu minggu sekali manggung dua jam mungkin honorariumnya lebih Rp5 juta! Kalau pekerja serampangan di kampung, seminggu kerja dua jam itu mungkin memperbaiki genteng rumah tetangga bocor, hasilnya paling cuma secangkir kopi! Jelas tidak manusiawi kalau barisan warga ini tak masuk kelompok penganggur, tak kebagian distribusi bantuan negara buat penganggur!" "Jadi, terlihat jika penguasa tak memahami soal penderitaan rakyatnya bukan akibat keterbatasan pengetahuan dirinya, tapi terbentuk lingkungan kekuasaannya—laporan bawahan asal bapak senang (ABS), informasi politisi terdekatnya yang sudah tereduksi kepentingan politik (power tend to corrupted), serta angka-angka dari publik yang tereduksi berbagai kepentingan pula!" ujar Umar. "Alhasil, setiap membuat kebijakan penguasa dihadang demo atas nama penderitaan rakyat di seantero negeri!" ***
"Seseorang tak masuk kategori penganggur jika dalam seminggu bekerja selama dua jam! Kalau artis satu minggu sekali manggung dua jam mungkin honorariumnya lebih Rp5 juta! Kalau pekerja serampangan di kampung, seminggu kerja dua jam itu mungkin memperbaiki genteng rumah tetangga bocor, hasilnya paling cuma secangkir kopi! Jelas tidak manusiawi kalau barisan warga ini tak masuk kelompok penganggur, tak kebagian distribusi bantuan negara buat penganggur!" "Jadi, terlihat jika penguasa tak memahami soal penderitaan rakyatnya bukan akibat keterbatasan pengetahuan dirinya, tapi terbentuk lingkungan kekuasaannya—laporan bawahan asal bapak senang (ABS), informasi politisi terdekatnya yang sudah tereduksi kepentingan politik (power tend to corrupted), serta angka-angka dari publik yang tereduksi berbagai kepentingan pula!" ujar Umar. "Alhasil, setiap membuat kebijakan penguasa dihadang demo atas nama penderitaan rakyat di seantero negeri!" ***
0 komentar:
Posting Komentar