Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Risiko Pertumbuhan Berbasis Konsumsi!

"KATANYA pertumbuhan ekonomi kita tahun ini 6,7%, apa mungkin?" tanya cucu. "Bukankah itu berarti semua komponen produksi harus naik rata-rata setinggi itu, semisal kalau luas produksi gabah sebelumnya 7,2 juta hektare, tahun ini saja harus menambah luas sawah 400 ribu hektare? Padahal, pencetakan sawah baru banyak fiktif!" "Pertumbuhan ekonomi kita tak berbasis produksi, tapi berbasis konsumsi!!" jawab kakek. "Semisal garam, dari lebih 3 juta ton konsumsi nasional, di atas 90% kita impor! Jika mau tumbuh 6,7% kita telepon saja produsennya di Australia dan India!" "Jadi kita pemilik pantai terpanjang memproduksi garam cuma di bawah 10% dari kebutuhan?" entak cucu. "Selebihnya kita impor? Lucu!" 

"Kenapa lucu? Itu justru pertanda pintar!" tegas kakek. "Buat apa repot membuat ladang garam jutaan hektare, kalau untuk semua kebutuhan cukup tinggal telepon ke luar negeri! Ketimbang ditipu cetak sawah fiktif, atau repot membeli dari petani sekarung dua, lebih gampang impor, sekali telepon ratusan ribu ton beras tersedia di gudang! Begitu pula kedelai, dan segala jenis buah, tinggal telepon buah impor melimpah pasar kita!" "Semua itu lucu, Kek!" tukas cucu. "Pertumbuhan berbasis konsumsi dengan mengandalkan impor untuk memenuhi segala kebutuhan konsumsi, berisiko buruk! Dalam jangka panjang tergantung produsen asing untuk segala kebutuhan bangsa!" "Risiko jangka panjang ke masa depan itu cuma idealisme kaum muda!" tegas kakek. "Buat kami kaum tua, pilih gampangnya memenuhi semua kebutuhan! Soal tergantung pada asing, kini tak ada bangsa tak tergantung pada bangsa lain!" 

"Tapi tak keterlaluan seperti kita!" entak cucu. "Produksi garam sendiri tak sampai 10%! Untuk Lampung, impor beras malah lebih 100% dari kekurangannya—keterlaluan, produksi lokal sebenarnya surplus! Semua itu menunjukkan potensi pertumbuhan berbasis produksi tak kurang jalan, tapi pengelola dan pengarah ekonomi nasional mau gampangnya saja!" "Masalahnya tak sesederhana logika awam begitu karena bersifat ideologis!" timpal kakek. "Intinya, Indonesia telah ditempatkan jadi bagian pasar bebas dunia! Segala yang ada di negeri kita jadi komoditas (dagangan) yang justru harus dibuat memikat orang negeri lain untuk mencumbunya! Maka itu sempat lebih 90% pertambangan kita dieksplorasi asing, sedang di sisi lain lebih 90% pula kita impor kebutuhan nasional garam kita!" "Itu sih dari sisi mana pun merugikan kita!" tukas cucu. "Tapi itulah risiko pertumbuhan berbasis konsumsi, sisi produksinya dikuasai asing!" ***

0 komentar: