"PARA pemimpin partai politik Indonesia cenderung keranjingan konflik (konflik mania) sehingga orientasi atau usahanya mewujudkan harmonisme lemah!" ujar Umar. "Itu menonjol saat Jokowi menang pilpres, pihak yang kalah—Koalisi Merah Putih (KMP)—membangun stelsel untuk memenangi segala konflik dengan keunggulan hasil pileg di DPR! Langkah demi langkah kemenangan pun mereka raih, dari revisi UU MD3, tata tertib DPR, hingga RUU Pilkada oleh DPRD!"
"Kalau KMP menuding pemilukada langsung oleh rakyat liberal, sesungguhnya justru jalan konflik mania yang mereka tempuh itulah liberal tulen!" timpal Amir. "Lewat jalan konflik itu masyarakat dibawa ke persaingan sempurna homo homini lupus, hanya yang terkuat yang berhak hidup! Konflik demikian berskala nasional yang akan hadir selama Jokowi-JK berkuasa!"
"Keranjingan konflik dalam budaya politik Indonesia itu—khususnya sejak reformasi, sungguh anomalik dibandingkan dengan budaya dominan negeri kita, kultur Jawa, yang bersifat harmonisme!" tegas Umar. "Juga platform pendirian bangsa dengan Bhinneka Tunggal Ika, pluralisme sebagai realitas ideal jelas menuntut harmonisme sebagai akar budaya politiknya!
Namun, kenyataannya, justru konflik mania yang liberalis, lawan kata harmonisme, yang selalu muncul!"
"Harmonisme sebagai ideal, meski secara bawah sadar sebenarnya merupakan budaya asli kita, tak mudah diwujudkan di panggung politik karena para aktornya semata berorientasi pada kekuasaan!" tukas Amir.
"Contoh ideal praktik budaya politik harmonisme adalah Nelson Mandela di Afrika Selatan, yang berhasil diwujudkan berkat para aktor politiknya rela korban perasaan! Mandela, meski dihukum tanpa kesalahan selama 27 tahun, juga para pejuang lainnya, serta masyarakat kulit hitam ditindas apartheid ratusan tahun, siap memaafkan semua itu demi mencapai kesatuan baru masyarakat sederajat lewat rekonsiliasi!"
"Semangat rekonsiliasi dan tokoh sejenis Mandela itulah yang tak dimiliki Indonesia! Sesama tokoh politik nasional saja ada yang tak saling bicara!" tegas Umar. "Rasa harga diri berlebihan lebih ditonjolkan oleh para politikus, hingga mengharap tokoh-tokoh rela berkorban perasaan seperti Mandela, di sini jauh dari harapan!
Sebaliknya, demi keangkuhannya yang tak mau berkorban perasaan itu, malah rakyat yang mereka korbankan! Kedaulatan rakyat mereka rampas! Itulah hakikat konflik kasus RUU Pilkada!" ***
0 komentar:
Posting Komentar