PARA pengamat dan praktisi mencatat, saat dilantik Senin (20/10) pasangan presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo dan M. Jusuf Kalla menerima warisan masalah bangsa yang sangat berat dari pendahulunya, pasangan SBY-Boediono.
Masalah itu, dalam ekonomi antara lain nilai tukar rupiah melemah hingga Rp12 ribu/dolar AS, defisit neraca perdagangan yang membesar, pungutan liar, peringkat infrastruktur yang masih rendah, yaitu di peringkat 61 dari 144 negara, impor pangan yang tinggi, subsidi BBM yang segera habis, ancaman pengangguran mencapai 2 juta orang hingga 10 tahun ke depan, serta kesenjangan yang semakin lebar dengan rasio gini 0,41, sudah lampu kuning, padahal selama Orde Baru rasio gini selalu di bawah 0,35. (Kompas, 13/10)
Seabrek masalah sangat berat itu masih ditambah lagi dengan korupsi yang malah sempat membelit poros kekuasaan, ormas yang gemar melakukan kekerasan makin beringas, orientasi banyak politikus pada kekuasaan kian mengenaskan, membuat rakyat cemas akan masa depannya!
Semua itu terjadi karena sang pendahulu sering ragu mengambil keputusan, hingga banyak masalah dibiarkan berkembang menjadi semakin kusut dan kompleks.
Sebagian lagi karena keputusan diambil lebih untuk citra. Akibatnya, masalah yang menuntut kebijakan tak populer, bongkar tuntas ke akar-akarnya, justru di balik dengan menutupi akarnya agar kebijakan tetap populer!
Contoh, menunda-nunda untuk menaikkan harga BBM subsidi yang saat dilakukan malah dimuati tujuan terselubung, yakni menabur BLT untuk menaikkan citra dekat pemilu.
Atas warisan masalah yang sangat berat itu, para pengamat dan praktisi, antara lain Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM Tony Prasetiantono dan Ketua Umum Apindo Sofjan Wanandi (Kompas, idem) menyatakan satu-satunya tumpuan masyarakat adalah susunan kabinet pemerintahan Jokowi-JK yang kapasitas ketokohan dan profesionalitasnya benar-benar mumpuni.
Kalau saat kabinet diumumkan kapasitas ketokohan dan profesionalitasnya dinilai memble, tak mustahil harapan rakyat yang tinggi pada Jokowi-JK langsung amblas.
Tapi bagaimana kalau masalahnya bukan kapasitas kabinet, melainkan lebih efektifnya penjegalan program di parlemen?
Kalau itu, serahkan pada sejarah siapa-siapa politikus busuk yang hanya berburu kekuasaan, kerjanya merampas hak-hak rakyat dan menjegal usaha perbaikan nasib rakyat! ***
0 komentar:
Posting Komentar