PEMERINTAH melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132 Tahun 2015 menyamakan tarif bea masuk impor mobil ke Indonesia untuk mobil yang dimasukkan secara utuh (completely built-up/CBU) dan yang sepenuhnya terurai (completely knocked down/CKD) sama-sama 50%.(Kompas.com, 25/7)
Kebijakan yang dirilis sebagai kejutan seusai Lebaran itu diperkirakan akan mendorong produsen mobil kelas menengah ke atas membanjiri pasar Indonesia dengan mobil built-up karena lebih diminati konsumen sehingga bisa unggul dalam merebut dan menguasai pasar.
Sebelumnya, untuk CBU bea masuknya 40%, sedang CKD hanya 10%.
Kebijakan yang kurang menguntungkan investasi dan lapangan kerja ini dipertanyakan Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia Jonkie D Sugiarto. "Kalau beda harga CBU dan CKD tidak banyak, ya merek-merek akan impor CBU, akhirnya Indonesia bisa kehilangan investasi dan lapangan kerja," kata dia.
Bisa ditebak, kebijakan ini lebih bertujuan meningkatkan penerimaan negara. Dengan kenaikan sampai 40% untuk bea impor CKD, dari tarif sebelumnya hanya 10%, jelas kenaikan penerimaan yang didapat akan sangat signifikan.
Tapi, seiring dengan kenaikan tarif bea masuk CKD hingga empat kali lipat itu, harga mobil baru pun di Indonesia akan naik tajam sebanding dengan kenaikan bea masuknya. Dengan daya beli masyarakat yang tidak naik setara kenaikan harga mobil itu, diperkirakan tingkat penjualannya akan menurun drastis. Apalagi kalau daya beli masyarakat justru cenderung menurun.
Artinya, kebijakan ini bisa mengurangi laju pertambahan jumlah mobil yang memang sudah jauh di atas kapasitas daya tampung panjang jalan yang tersedia.
Jika itu terjadi, pertumbuhan di sektor otomotif yang selama ini selalu menjadi leading sector akan mengalami perubahan dengan penurunan skala perannya. Sekaligus, penurunan perannya dalam menyediakan lapangan kerja baru.
Setiap kebijakan tentu punya aspek positif maupun negatif. Aspek negatif menonjol dalam lemahnya dukungan pada alih teknologi. Alih-alih berusaha meningkatkan penggunaan komponen lokal, kebijakan yang mendorong produsen memasukkan mobil built-up malah memosisikan komponen lokal pada 0% (nol persen).
Dilihat dari strategi alih teknologi, kebijakan baru ini memang memutar arah—mundur jauh ke belakang. Kalau Malaysia, Tiongkok, dan India sukses dalam program mobil nasional mereka, dengan semua komponen buatan mereka sendiri, Indonesia justru mundur bablas hingga ke titik nol! ***
0 komentar:
Posting Komentar