TERJADINYA pembubaran salat idulfitri dilanjutkan pembakaran tempat ibadah umat muslim di Tolikara, Papua, menurut Wapres Jusuf Kalla, berawal dari adanya surat dari Gereja Injil di Indonesia (GIDI) setempat kepada Pemda, Polres, dan Kodim Tolikara yang berisi larangan salat idulfitri di daerah itu.
Kalau benar begitu dan peristiwa sebagai akibat surat itu sempat terjadi, jelas bisa dikategorikan aparat kurang tanggap, atau bahkan lalai.
Karena, seharusnya aparat Pemda, Polres, dan Kodim mencegah secara dini dengan memanggil atau mendatangi pengirim surat memberi tahu bahwa isi surat tersebut melanggar hukum karena tak ada hak mereka melarang orang lain beribadah. Kemudian, seharusnya aparat mengantisipasi kemungkinan penjelasannya soal surat itu tak digubris GIDI, dengan melakukan pengamanan atau mengawal pelaksanaan salat idulfitri di daerah itu, yang lokasinya juga tidak banyak. Tapi itu tak dilakukan semestinya sehingga ketika terjadi yang tak diinginkan aparat gugup dan berlebihan, menyulut reaksi lebih buruk.
Kelalaian paling utama dari aparat Pemda, Polri, dan Kodim itu terlihat dari mencuatnya perilaku terbelakang sekelompok masyarakat, yang mencerminkan kurangnya pembinaan oleh aparat tentang pemahaman mereka terhadap realitas pluralisme masyarakat bangsa, realitas Bhinneka Tunggal Ika. Tak ayal, peristiwa ini pun mengingatkan semua pihak tentang tetap relevannya sosialisasi dan penanaman semangat kebangsaan. Bukan hanya bagi masyarakat terkucil di pelosok pedalaman yang jauh.
Sosialisasi dan pendalaman semangat kebangsaan yang menghornati perbedaan dalam pluralisme itu juga masih diperlukan oleh warga dalam nasyarakat kota besar yang juga masih acap mengekspresikan perilaku terbelakang, kurang menjiwai semangat kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika. Namun, meski bisa dianggap sebagai kelalaian aparat di lapangan, tetap saja atasan mereka harus bertanggung jawab atas kejadian itu karena kurang menanamkan kesadaran dan rasa tanggap yang memadai kepada anak buahnya akibat fokus perhatian pimpinannya sendiri lebih terkonsentrasi pada hal-hal yang bukan prioritas dalam tugasnya, bahkan hanyut, larut, dan tenggelam dalam intrik-intrik buatannya sendiri!
Untuk mencegah merebaknya tindakan merusak harmoni masyarakat dalam semangat kebangsaan, para pelaku dalam peristiwa Tolikara harus dihukum setimpal. Efek jera untuk mencegah merebaknya perilaku terbelakang seperti itu diperlukan. ***
Karena, seharusnya aparat Pemda, Polres, dan Kodim mencegah secara dini dengan memanggil atau mendatangi pengirim surat memberi tahu bahwa isi surat tersebut melanggar hukum karena tak ada hak mereka melarang orang lain beribadah. Kemudian, seharusnya aparat mengantisipasi kemungkinan penjelasannya soal surat itu tak digubris GIDI, dengan melakukan pengamanan atau mengawal pelaksanaan salat idulfitri di daerah itu, yang lokasinya juga tidak banyak. Tapi itu tak dilakukan semestinya sehingga ketika terjadi yang tak diinginkan aparat gugup dan berlebihan, menyulut reaksi lebih buruk.
Kelalaian paling utama dari aparat Pemda, Polri, dan Kodim itu terlihat dari mencuatnya perilaku terbelakang sekelompok masyarakat, yang mencerminkan kurangnya pembinaan oleh aparat tentang pemahaman mereka terhadap realitas pluralisme masyarakat bangsa, realitas Bhinneka Tunggal Ika. Tak ayal, peristiwa ini pun mengingatkan semua pihak tentang tetap relevannya sosialisasi dan penanaman semangat kebangsaan. Bukan hanya bagi masyarakat terkucil di pelosok pedalaman yang jauh.
Sosialisasi dan pendalaman semangat kebangsaan yang menghornati perbedaan dalam pluralisme itu juga masih diperlukan oleh warga dalam nasyarakat kota besar yang juga masih acap mengekspresikan perilaku terbelakang, kurang menjiwai semangat kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika. Namun, meski bisa dianggap sebagai kelalaian aparat di lapangan, tetap saja atasan mereka harus bertanggung jawab atas kejadian itu karena kurang menanamkan kesadaran dan rasa tanggap yang memadai kepada anak buahnya akibat fokus perhatian pimpinannya sendiri lebih terkonsentrasi pada hal-hal yang bukan prioritas dalam tugasnya, bahkan hanyut, larut, dan tenggelam dalam intrik-intrik buatannya sendiri!
Untuk mencegah merebaknya tindakan merusak harmoni masyarakat dalam semangat kebangsaan, para pelaku dalam peristiwa Tolikara harus dihukum setimpal. Efek jera untuk mencegah merebaknya perilaku terbelakang seperti itu diperlukan. ***
0 komentar:
Posting Komentar