KALAU kurs rupiah terkesan dilepas bablas tembus Rp14.300/dolar AS Selasa (8/9) pagi, yuan dikendalikan mati-matian oleh People Bank of China (PBoC), bank sentral Tiongkok, dengan intervensi dolar memenuhi kebutuhan pasar, hingga akhir Agustus 2015 cadangan devisanya anjlok 93,9 miliar dolar AS.Dengan penurunan empat bulan berturut sampai Agustus itu, cadangan devisa Tiongkok jadi 3,56 triliun dolar AS. Namun, itu masih tetap merupakan cadangan devisa terbesar di dunia. (Kompas.com, 8/9)
Tiongkok juga mendevaluasi (menurunkan kurs) yuan sebesar 1,87% terhadap dolar AS bulan lalu, yang dalam seminggu berhasil menurunkan paritas tengah mata uangnya 5%.
Itu dilakukan untuk menjaga daya saing produk ekspornya, sekaligus mengatasi pelambatan ekonominya. Setelah satu dekade lalu menikmati pertumbuhan di atas 10%, Senin lalu Tiongkok mengoreksi pertumbuhan tahun lalu jadi 7,3%.
Indonesia tentu tak berani intervensi pasar dengan “taruhan besar” seperti Tiongkok agar penurunan kurs rupiah ke dolar AS tak bablas, sebab cadangan devisa Indonesia relatif terbatas, yakni per akhir Agustus 2015 tercatat “hanya” 105,34 miliar dolar AS.
Karena itu, wajar kalau pemerintah maupun BI memilih putar lagu retorika mendayu untuk membuat rakyat tetap terbuai meski kurs rupiah anjlok tak terkendali.
Namun, langkah PBoC itu dikritik Li Miaoxian, analis di BoCom International Holdings yang berbasis di Beijing. Kepada Bloomberg, Li menyatakan, "Jika bank sentral terus melakukan intervensi, cadangan devisa Tiongkok akan terus menyusut—intervensi lebih berat, lehih dalam jatuhnya."
Kritik Li itu mengacu kenyataan. Semua langkah khusus itu diambil agar yuan tetap bisa menjadi penyangga pertumbuhan yang kini melambat terendah sejak 1990, waktu itu pertumbuhan anjlok hingga menjadi 3,9%.
Pelambatan ekonomi Tiongkok, pelahap terbesar komoditas dan energi dunia, mengimbas ekonomi negara berkembang seperti Indonesia yang segera ikut merosot ekspor dan nilai mata uangnya. Bahkan, negara-negara maju juga terdampak, seperti Uni Eropa. European Central Bank (ECB) telah memangkas target pertumbuhan ekonominya. (detik.com, 6/9)
ECB menuding Tiongkok penyebabnya. Ekspor Uni Eropa turun drastis akibat ekonomi Tiongkok melambat.
Ekspor mereka ke negara-negara berkembang lain di Asia ikut turun karena daya beli yang lesu.
Tiongkok memang harus berusaha keras agar perannya yang signifikan pada perekonomian dunia itu tidak tinggal kenangan. ***
0 komentar:
Posting Komentar