DARI waktu ke waktu belakangan ini selalu ada pejabat pemerintah atau Bank Indonesia (BI) menyatakan fondasi ekonomi Indonesia kuat, kondisi sekarang beda dari krisis 1998 dan 2008.
Tapi, kenapa rupiah kok bablas terus ewes-ewesnya hingga buka pasar awal pekan Senin (7/9) melorot ke Rp14.230/dolar AS.
Itu turun dari penutupan akhir pekan lalu Rp14.127,3/dolar AS, menjadi rekor baru level terendah sejak krisis 1998. Pada 17 Juni 1998, rupiah di puncak rekor terlemah pada Rp16.650/dolar AS. (Kompas.com, 7/9)
Masalahnya, dalam logika awam bangunan yang fondasinya kuat itu berdiri kokoh. Tapi kenapa pada ekomomi Indonesia, fondasinya kuat kok bangunannya yang direpresentasikan mata uang rupiah, goyah terus. Menurut adagium orang Tapanuli—ise do na mangatur nagara on? Hepeng!—uang merupakan faktor penentu dalam mengatur negara.
Kalau mata uangnya goyah terus, berarti pengaturan negara ini sedang dalam masalah.
Maksudnya, bisa jadi setiap pejabat pemerintah dan BI menyatakan kondisi sekarang beda dengan 1998 dan 2008, sebenarnya mereka sedang menghibur diri mereka sendiri. Sebab, dengan kurs mata uang yang melorot terus diikuti daya beli rakyat yang anjlok tanpa henti, sebenarnya ada masalah yang tak mampu mereka atasi! Pengakuan kondisi ekonomi rakyat amat buruk dengan kemerosotan tanpa henti daya belinya itu secara diam-diam juga datang dari Presiden Joko Widodo. Belakangan ini ia sering “mencuri waktu” di sela acaranya yang padat untuk menyelinap keluar Istana membagi-bagi paket sembako kepada warga miskin Jakarta.
Padahal, idealnya pertolongan dari seorang Presiden bukanlah by hand menyerahkan langsung satu per satu paket sembako kepada rakyat yang kekurangan. Melainkan, cukup dengan membuat sebuah kebijakan yang bisa membuat puluhan juta rakyat miskin mendapatkan benefit, bahkan jauh lebih bernilai dari sepaket sembako. Tapi mungkin, karena ada masalah yang tak mampu diatasi baik oleh pemerintah maupun BI sehingga kemerosotan kurs rupiah bablas terus, harus dibuat lebih banyak cara menghibur diri.
Dari yang tak kenal bosan menyatakan fondasi ekonomi kuat, sampai memastikan telah meringankan rakyat miskin dari memikul beban hidup yang amat berat, meski sebatas jangkauan tangannya. Untuk itu, lebih ideal sebenarnya, kalau pokok masalah penyebab kemerosotan rupiah tak bisa diatasi, dibuat kebijakan kompensasinya agar tak cuma mencari cara menghibur diri untuk menutupi keterbatasan yang nyata. ***
Maksudnya, bisa jadi setiap pejabat pemerintah dan BI menyatakan kondisi sekarang beda dengan 1998 dan 2008, sebenarnya mereka sedang menghibur diri mereka sendiri. Sebab, dengan kurs mata uang yang melorot terus diikuti daya beli rakyat yang anjlok tanpa henti, sebenarnya ada masalah yang tak mampu mereka atasi! Pengakuan kondisi ekonomi rakyat amat buruk dengan kemerosotan tanpa henti daya belinya itu secara diam-diam juga datang dari Presiden Joko Widodo. Belakangan ini ia sering “mencuri waktu” di sela acaranya yang padat untuk menyelinap keluar Istana membagi-bagi paket sembako kepada warga miskin Jakarta.
Padahal, idealnya pertolongan dari seorang Presiden bukanlah by hand menyerahkan langsung satu per satu paket sembako kepada rakyat yang kekurangan. Melainkan, cukup dengan membuat sebuah kebijakan yang bisa membuat puluhan juta rakyat miskin mendapatkan benefit, bahkan jauh lebih bernilai dari sepaket sembako. Tapi mungkin, karena ada masalah yang tak mampu diatasi baik oleh pemerintah maupun BI sehingga kemerosotan kurs rupiah bablas terus, harus dibuat lebih banyak cara menghibur diri.
Dari yang tak kenal bosan menyatakan fondasi ekonomi kuat, sampai memastikan telah meringankan rakyat miskin dari memikul beban hidup yang amat berat, meski sebatas jangkauan tangannya. Untuk itu, lebih ideal sebenarnya, kalau pokok masalah penyebab kemerosotan rupiah tak bisa diatasi, dibuat kebijakan kompensasinya agar tak cuma mencari cara menghibur diri untuk menutupi keterbatasan yang nyata. ***
0 komentar:
Posting Komentar