PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah frasa Pasal 245 Ayat (1) UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), semula harus mendapat izin tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan menjadi "izin tertulis dari Presiden" untuk pemanggilan dan permintaan keterangan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana, ternyata diberi pengecualian pada Ayat (3) pasal tersebut.
Pasal 245 Ayat (3) itu berbunyi: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana. b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup, atau c.
Disangka melakukan tindak pidana khusus. "Berdasarkan Pasal 245 Ayat (3) UU MD3 itu, maka KPK, kejaksaan, dan kepolisian tetap dapat menangani perkara korupsi (sebagai tindak pidana khusus) yang melibatkan anggota DPR, termasuk melakukan operasi tangkap tangan (OTT) tanpa harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden," ujar Lalola Ester, peneliti bidang hukum Indonesia Corruption Watch—ICW. (Kompas.com, 27/9)
Menurut dia, KPK, kejaksaan, dan kepolisian sebaiknya mengabaikan putusan MK soal izin pemeriksaan sepanjang institusi tersebut menangani perkara korupsi yang melibatkan anggota legislatif (MPR, DPR, DPD, DPRD). Dengan tidak berlakunya izin pemeriksaan terhadap anggota legislatif yang terlibat korupsi, justru penanganan perkara korupsi politik harus menjadi prioritas bagi semua institusi penegak hukum.
Demikian pelurusan putusan MK soal UU MD3 dari peneliti ICW terkait pemeriksaan terhadap anggota legislatif. Putusan MK tersebut hanya berlaku pada tindak pidana umum yang diatur dalam KUHP dan penanganan perkara yang tidak melalui tangkap tangan. Putusan MK soal izin pemeriksaan tidak berlaku pada penanganan tindak pidana khusus, termasuk tindak pidana korupsi.
Untuk itu, anggota legislatif di tingkat mana pun dia harus ekstrahati-hati menjaga kehormatan dirinya dari keterlibatan dalam segala bentuk tindak pidana—umum, khusus, maupun lainnya. Karena, kalau sudah telanjur terlibat pidana, pemeriksaannya harus izin eksekutif atau tidak akibatnya sama, nama baik pribadinya akan rusak. Apalagi kalau sampai harus dijatuhi hukuman penjara, seperti mereka yang mengalaminya, menderita dengan batin yang tersiksa lebih pedih dibanding warga biasa. Maka, jauhilah segala bentuk pidana. ***
Disangka melakukan tindak pidana khusus. "Berdasarkan Pasal 245 Ayat (3) UU MD3 itu, maka KPK, kejaksaan, dan kepolisian tetap dapat menangani perkara korupsi (sebagai tindak pidana khusus) yang melibatkan anggota DPR, termasuk melakukan operasi tangkap tangan (OTT) tanpa harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden," ujar Lalola Ester, peneliti bidang hukum Indonesia Corruption Watch—ICW. (Kompas.com, 27/9)
Menurut dia, KPK, kejaksaan, dan kepolisian sebaiknya mengabaikan putusan MK soal izin pemeriksaan sepanjang institusi tersebut menangani perkara korupsi yang melibatkan anggota legislatif (MPR, DPR, DPD, DPRD). Dengan tidak berlakunya izin pemeriksaan terhadap anggota legislatif yang terlibat korupsi, justru penanganan perkara korupsi politik harus menjadi prioritas bagi semua institusi penegak hukum.
Demikian pelurusan putusan MK soal UU MD3 dari peneliti ICW terkait pemeriksaan terhadap anggota legislatif. Putusan MK tersebut hanya berlaku pada tindak pidana umum yang diatur dalam KUHP dan penanganan perkara yang tidak melalui tangkap tangan. Putusan MK soal izin pemeriksaan tidak berlaku pada penanganan tindak pidana khusus, termasuk tindak pidana korupsi.
Untuk itu, anggota legislatif di tingkat mana pun dia harus ekstrahati-hati menjaga kehormatan dirinya dari keterlibatan dalam segala bentuk tindak pidana—umum, khusus, maupun lainnya. Karena, kalau sudah telanjur terlibat pidana, pemeriksaannya harus izin eksekutif atau tidak akibatnya sama, nama baik pribadinya akan rusak. Apalagi kalau sampai harus dijatuhi hukuman penjara, seperti mereka yang mengalaminya, menderita dengan batin yang tersiksa lebih pedih dibanding warga biasa. Maka, jauhilah segala bentuk pidana. ***
0 komentar:
Posting Komentar