Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Kemiskinan kian Parah dan Dalam!

BPS—Badan Pusat Statistik—melaporkan pada Maret 2015 jumlah penduduk miskin Indonesia menjadi 28,59 juta orang (11,22% penduduk), bertambah 860 ribu orang dari September 2014 sebesar 27,737 juta orang (10,96%).

Selain jumlah warga yang hidup di bawah garis kemiskinan bertambah signifikan, Kepala BPS Suryamin dalam paparannya Selasa (15/9) menyatakan kemiskinan juga makin parah dan dalam dibanding Maret 2014, Maret 2013, dan Maret 2012. (Kompas.com, 15/9) Indeks keparahan kemiskinan diukur dari beda pengeluaran antarpenduduk miskin.

Jika bedanya makin jauh, tidak terkumpul pada satu angka, indeksnya makin besar, berarti tingkat keparahan kemiskinan semakin buruk. Indeks keparahan kemiskinan pada Maret 2015 adalah 0,535, meningkat dari Maret 2014 di level 0,435, Maret 2013 (0,432), dan Maret 2012 (0,473). Indeks kedalaman kemiskinan juga meningkat. Indeks kedalaman kemiskinan diukur lewat jarak pengeluaran penduduk miskim dengan garis kemiskinan. Makin jauh jarak antara pengeluaran dan garis kemiskinan, makin tinggi pula indeks kedalaman kemiskinan. 

Pada Maret 2015, indeks kedalaman kemiskinan di level 1,971, meningkat dibanding Maret 2014 (1,753), Maret 2013 (1,745), dan Maret 2012 (1,880). Menurut data BPS, pemicu naiknya angka kemiskinan itu utamanya dari September 2014 ke Maret 2015 itu terjadi inflasi 4,03%, dan di perdesaan 4,40%. Pada periode itu rata-rata harga beras naik 14,48%, cabai rawit naik 26,28%, diiringi ramai-ramai naik rokok kretek filter, telur ayam ras, mi instan, gula pasir, roti, tempe, tahu, dan kopi. 

Andil beras terhadap naiknya jumlah penduduk miskin, di perkotaan 23,49%, sedang di perdesaan 32,88%. Menariknya, komoditas bukan makanan utama, yang menyebabkan meningkatnya kemiskinan ternyata bukanlah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Khususnya jenis bensin hanya memberikan andil 3,15% terhadap kemiskinan di perkotaan, dan 2,38% terhadap kemiskinan di perdesaan. Hasil hitungan andil langsung BBM itu mudah dipahami karena rakyat miskin tidak minum bensin. 

Tapi makan beras dan kebutuhan utama lainnya tadi, yang harganya naik terpengaruh kenaikan harga BBM saat dicabut subsidinya. Memang sudah takdir ratusan ribu orang itu terlempar ke jurang di bawah garis kemiskinan. Tapi, penyebabnya tak bisa dilepaskan sebagai konsekuensi kebijakan penguasa. Artinya, untuk lain kali, penguasa agar lebih hati-hati setiap membuat kebijakan karena penderitaan rakyat akibat kebijakan yang kurang tepat selalu nyata. ***

0 komentar: