SELAIN ratusan triliun rupiah, berbagai dana mengendap tidak terserap kegiatan program pembangunan, ternyata dana desa dari APBNP 2015 sebesar Rp22,77 triliun juga baru tersalur 20%.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo geram atas hal itu karena, menurut dia, instruksi dan radiogram sudah disampaikan kepada para kepala daerah di seluruh Indonesia. Bahkan, kepala daerah sudah dipanggil ke pusat, begitu pula sekretaris daerah, kepala biro keuangan, dan kepala dinas keuangan pemerintah daerah, begitu juga DPRD.
"Akar masalahnya adalah birokrasi yang berbelit-belit dan panjang.
Tingkat kabupaten dan kota memang harus merencanakan anggaran secara detail, tetapi untuk tingkat kepala desa cukuplah selembar untuk mengajukan perencanaan pembangunan desa," ujar Tjahjo. (Kompas, 28/8) Kenyataannya lebih dari sekadar keruwetan birokrasi, tetapi juga ketakutan dikriminalisasi yang mencekam pejabat daerah sehingga Rp273 triliun dana APBD masih mengendap di Bank Pembangunan Daerah. Bagi aparat pemda, tidak beda mekanisme menyerap APBD yang Rp273 triliun dengan dana desa yang Rp22,77 triliun. Salah sedikit saja, tergelincir masuk bui. Lebih lagi di desa, kelembagaan untuk pengelolaan dana berjumlah relatif besar untuk ukuran masyarakat bawah itu belum siap.
Kabupaten Tulangbawang mungkin satu-satuanya yang punya lembaga kelompok masyarakat (pokmas) yang sejak awal diberi wewenang mengelola dana pembangunan desa yang diterima dari kabupaten. Pokmas dibentuk oleh warga desa dari warga desa setempat dengan pendampingan tim asistensi dari Universitas Lampung (Unila) yang bekerja sama dengan Pemkab Tulangbawang melaksanakan program Gerakan Serentak Membangun Kampung (GSMK). Kepala kampung sendiri tidak menangani keuangan GSMK yang dikelola pokmas, kecuali sebagai penasihat.
Dana desa yang juga untuk pelayanan administrasi pemerintahan desa dan membangun perekomomian desa, jelas diperlukan kelembagaan pengelola keuangan desa yang lebih mumpuni. Apalagi dalam perencanaan membangun desa selalu diperlukan sebagai hasil musyawarah warga desa, kelembagaannya harus pula akomodatif dan partisipatif. Tanpa kelengkapan lembaga pengelola dana desa yang menyamankan hati, kepala desa juga tak terlalu bernafsu menjoloknya.
Cekaman ketakutan dibui karena salah dalam menggunakan dana desa, sama dengan yang dirasakan pejabat di atasnya. Artinya, masih ada hal-hal yang harus disiapkan untuk menyalurkan dana desa agar berkah, efektif, dan efisien. ***
Tingkat kabupaten dan kota memang harus merencanakan anggaran secara detail, tetapi untuk tingkat kepala desa cukuplah selembar untuk mengajukan perencanaan pembangunan desa," ujar Tjahjo. (Kompas, 28/8) Kenyataannya lebih dari sekadar keruwetan birokrasi, tetapi juga ketakutan dikriminalisasi yang mencekam pejabat daerah sehingga Rp273 triliun dana APBD masih mengendap di Bank Pembangunan Daerah. Bagi aparat pemda, tidak beda mekanisme menyerap APBD yang Rp273 triliun dengan dana desa yang Rp22,77 triliun. Salah sedikit saja, tergelincir masuk bui. Lebih lagi di desa, kelembagaan untuk pengelolaan dana berjumlah relatif besar untuk ukuran masyarakat bawah itu belum siap.
Kabupaten Tulangbawang mungkin satu-satuanya yang punya lembaga kelompok masyarakat (pokmas) yang sejak awal diberi wewenang mengelola dana pembangunan desa yang diterima dari kabupaten. Pokmas dibentuk oleh warga desa dari warga desa setempat dengan pendampingan tim asistensi dari Universitas Lampung (Unila) yang bekerja sama dengan Pemkab Tulangbawang melaksanakan program Gerakan Serentak Membangun Kampung (GSMK). Kepala kampung sendiri tidak menangani keuangan GSMK yang dikelola pokmas, kecuali sebagai penasihat.
Dana desa yang juga untuk pelayanan administrasi pemerintahan desa dan membangun perekomomian desa, jelas diperlukan kelembagaan pengelola keuangan desa yang lebih mumpuni. Apalagi dalam perencanaan membangun desa selalu diperlukan sebagai hasil musyawarah warga desa, kelembagaannya harus pula akomodatif dan partisipatif. Tanpa kelengkapan lembaga pengelola dana desa yang menyamankan hati, kepala desa juga tak terlalu bernafsu menjoloknya.
Cekaman ketakutan dibui karena salah dalam menggunakan dana desa, sama dengan yang dirasakan pejabat di atasnya. Artinya, masih ada hal-hal yang harus disiapkan untuk menyalurkan dana desa agar berkah, efektif, dan efisien. ***
0 komentar:
Posting Komentar