PAKET kebijakan "September I" yang diumumkan Presiden Joko Widodo pada Rabu (9/9) petang menjurus terlalu liberal alias superliberal, yang pada zaman sebelum depresi fatal ekomomi dunia 1930-an disebut laissez faire—adagiumnya ekomomi tumbuh dan berkembang dengan baik ketika pemerintah tidur.
Artinya, kalau pemerintah bangun ada saja oknumnya yang cawe-cawe mengganggu tumbuh-kembangnya ekonomi. Asumsi itu bertolak dari penjelasan Presiden Joko Widodo bahwa pada fokus kebijakan mendorong daya saing industri, pemerintah melakukan debirokratisasi dengan merombak 89 peraturan untuk menghilangkan duplikasi perizinan.
Kemudian menyiapkan 17 rancangan peraturan pemerintah dan peraturan presiden, 2 instruksi presiden, 63 peraturan menteri, dan 5 peraturan lain. (Kompas.com, 9/9) Betapa dahsyat debirokratisasi yang berarti pengurangan atau penglepasan campur tangan pemerintah dari proses ekonomi agar tajam ke sasaran spesifik yang didiagnosis untuk disembuhkan, daya saing industri.
Dengan perombakan dan penyiapan 176 peraturan yang terkait dengan sebagian besar instansi pemerintah, terkesan kebijakan ini melebar dan terlalu luas garapannya. Butuh stamina besar untuk melaksanakan dan mengendalikan program-programnya agar tetap di jalur sasaran. Ini yang membuat pasar kurang cepat merespons kebijakan tersebut, hingga esok paginya pasar saham maupun rupiah masih terbawa arus global yang negatif.
Seperti kata riset Samuel Sekuritas Indonesia, paket kebijakan ekonomi yang diumumkan Rabu menjelang malam kemarin gagal memberikan perincian yang spesifik sehingga respons positif yang signifikan serta meningkatkan prospek pertumbuhan sepertinya belum akan terlihat. Kebijakan moneter BI lebih menyasar stabilitas rupiah bukan pertumbuhan. (Kompas.com, 10/9)
Gagal, itulah kata dari Samuel yang pantas dipetik. Artinya, peluang gagal dari kebijakan selalu ada. Dan kegagalan kapitalisme murni laissez faire menyulut depresi fatal ekonomi dunia 1930-an. Itu karena raksasa-raksasa kapitalis dengan kekuatan mereka yang amat besar bertindak tanpa kendali mengeruk uang tunai lewat bursa. Sejak itu, lahir paradigma pentingnya kontrol publik yang direpresentasikan pemerintah, lazim disebut birokratisasi.
Ekonomi memburuk bukan karena kontrol publik itu, melainkan sering akibat para pejabat yang menjalankan kontrol publik tidak bekerja demi kepentingan negara dan rĂ kyat, tapi lebih untuk kepentingan pribadi atau pengusaha kroninya. Jadi seharusnya bukan debirokratisasi aturannya, melainkan orangnya. ***
Artinya, kalau pemerintah bangun ada saja oknumnya yang cawe-cawe mengganggu tumbuh-kembangnya ekonomi. Asumsi itu bertolak dari penjelasan Presiden Joko Widodo bahwa pada fokus kebijakan mendorong daya saing industri, pemerintah melakukan debirokratisasi dengan merombak 89 peraturan untuk menghilangkan duplikasi perizinan.
Kemudian menyiapkan 17 rancangan peraturan pemerintah dan peraturan presiden, 2 instruksi presiden, 63 peraturan menteri, dan 5 peraturan lain. (Kompas.com, 9/9) Betapa dahsyat debirokratisasi yang berarti pengurangan atau penglepasan campur tangan pemerintah dari proses ekonomi agar tajam ke sasaran spesifik yang didiagnosis untuk disembuhkan, daya saing industri.
Dengan perombakan dan penyiapan 176 peraturan yang terkait dengan sebagian besar instansi pemerintah, terkesan kebijakan ini melebar dan terlalu luas garapannya. Butuh stamina besar untuk melaksanakan dan mengendalikan program-programnya agar tetap di jalur sasaran. Ini yang membuat pasar kurang cepat merespons kebijakan tersebut, hingga esok paginya pasar saham maupun rupiah masih terbawa arus global yang negatif.
Seperti kata riset Samuel Sekuritas Indonesia, paket kebijakan ekonomi yang diumumkan Rabu menjelang malam kemarin gagal memberikan perincian yang spesifik sehingga respons positif yang signifikan serta meningkatkan prospek pertumbuhan sepertinya belum akan terlihat. Kebijakan moneter BI lebih menyasar stabilitas rupiah bukan pertumbuhan. (Kompas.com, 10/9)
Gagal, itulah kata dari Samuel yang pantas dipetik. Artinya, peluang gagal dari kebijakan selalu ada. Dan kegagalan kapitalisme murni laissez faire menyulut depresi fatal ekonomi dunia 1930-an. Itu karena raksasa-raksasa kapitalis dengan kekuatan mereka yang amat besar bertindak tanpa kendali mengeruk uang tunai lewat bursa. Sejak itu, lahir paradigma pentingnya kontrol publik yang direpresentasikan pemerintah, lazim disebut birokratisasi.
Ekonomi memburuk bukan karena kontrol publik itu, melainkan sering akibat para pejabat yang menjalankan kontrol publik tidak bekerja demi kepentingan negara dan rĂ kyat, tapi lebih untuk kepentingan pribadi atau pengusaha kroninya. Jadi seharusnya bukan debirokratisasi aturannya, melainkan orangnya. ***
0 komentar:
Posting Komentar