Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Harapan Tumbuh di Ekspor-Impor!

DI balik terus merosotnya kurs rupiah yang pada Jumat (25/9) pagi tembus Rp14.700 per dolar AS, data terbaru ekspor-impor yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menumbuhkan harapan, ada dasar untuk menata kebangkitan dari keterpurukan lewat gejala perbaikan di sisi perdagangan luar negeri.

Dibanding Juli, nilai ekspor dan impor Agustus mengalami kenaikan. Ekspor naik 10,79% menjadi 12,70 miliar dolar AS dan impor naik 21,69% menjadi 12,27 miliar dolar AS. "Yang menjadi sinyal baik," kata Kepala BPS Suryamin, "Lonjakan impor dipicu oleh arus masuk barang modal." (Kompas.com, 25/9) Dalam kenaikan perdagangan luar negeri itu, ada surplus 433,8 juta dolar, menambah surplus perdagangan sejak awal tahun mencapai 6,22 miliar dolar. Ini surplus perdagangan tertinggi sejak 2012.

 Namun, perlu dicatat, rekor itu tercipta bukan karena ekspor yang tumbuh luar biasa, melainkan karena neraca impor yang merosot dalam. Karena itu, kenaikan impor sampai lebih 20% pada bulan terakhir itu, lebih-lebih berupa barang modal, pantas diberi catatan khusus. Karena, impor mendorong konsumsi yang masih menjadi andalan pertumbuhan ekonomi. Apalagi, impor barang modal memberi nilai tambah bagi perekonomian nasional dan membuka kesempatan kerja. 

Dengan perubahan kebijakan subsidi BBM, termasuk efisiensi menutup anak perusahaan Pertamina di luar negeri, impor migas (BBM) Januari—Juli 2015 turun hingga 40,73% dibanding priode sama 2014, menjadi 15,39 miliar dolar. Impor nonmigas periode sama turun 12,08% menjadi 68,63 miliar dolar, dengan bagian pentingnya penurunan signifikan impor pangan.

Artinya, di balik jebloknya kurs rupiah dan IHSG terimbas pelambatan ekonomi dunia, ada hal-hal penting dalam pergeseran struktur ekonomi domestik yang mulai on the track—di jalur yang benar. Itulah mungkin yang bisa dijadikan dasar menata kebangkitan ekonomi selanjutnya secara komprehensif. Tentu, agar paket-paket kebijakan berikutnya tidak kontraproduktif atau bertentangan dengan capaian positif yang sudah ada. Misalnya, dengan kebijakan yang sudah tepat dalam efisiensi terhadap anak perusahaan 

Pertamina, jangan pula utang akibat ketidakefisienan masa lalu Pertamina menjadi beban publik masa kini sehingga ketika harga BBM dunia sudah turun lebih 50%, harga BBM dalam negeri malah naik dari Rp6.200 jadi Rp7.400, hingga menambah jumlah orang miskin 860 ribu orang. Utang perusahaan semestinya diproses wajarnya utang perusahaan, bukan dipikulkan ke publik. ***

0 komentar: