DARI semua kebijakan yang dibuat, prioritas harus ditetapkan pada usaha mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) di semua perusahaan.
Terjadinya PHK yang dicemaskan hingga puluhan ribu buruh unjuk rasa ke Istana baru-baru ini adalah masalah nyata. Dinas Tenaga Kerja Jawa Tengah mencatat periode Februari—Agustus 2015 telah terjadi PHK terhadap 1.305 karyawan. "Sebagian besar di industri garmen, tekstil, plastik, dan outsourcing," kata Wika Bintang, Kadisnaker Jateng. (Kompas.com, 11/9)
Sementara itu, dalam industri tekstil dan produk tekstil (TPT), menurut Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat, tahun ini telah di-PHK sekitar 36 ribu orang. Industri TPT menyerap 2,656 juta tenaga kerja langsung. Karena itu, tegas Ade, industri ini memerlukan dukungan agar tak terjadi PHK yang lebih meluas. (Kompas.com, 12/9)
Salah satu dukungan dimaksud, menurut Ade, adalah meringankan beban industri melalui hal-hal yang di bawah kontrol pemerintah. Misalnya tarif listrik industri, sekarang sekitar 10 sen dolar AS per KWh, padahal di Vietnam hanya 6 sen. Pelaku industri Indonesia selama ini juga terbebani dua kali pajak di listrik, yakni PPN 10% dan pajak penerangan jalan umum yang bervariasi di tiap daerah.
Akibatnya, nilai ekspor tekstil Vietnam yang baru 15 tahun mengembangkan industri tekstil sudah menembus 28 miliar dolar AS, sedang Indonesia yang sudah 35 tahun ekspornya baru 13 miliar dolar AS. PHK harus dicegah karena menyengsarakan korbannya, yang secara ekonomi menurunkan daya beli masyarakat. Pengusaha juga babak belur, harus membayar pesangon justru ketika perusahaannya dalam kesulitan—alasan terpenting terpaksa melakukan PHK. Meluasnya PHK juga mènghambat investasi. Siapa mau investasi di negara tempat usaha yang sudah ada ramai bangkrut!
Dalam kondisi nyata demikian jangan pula pemerintah mengobral pembebasan pajak (tax holiday) 15—20 tahun agar investasi baru mau masuk, industri dalam negeri yang sudah eksis dan bayar pajak bisa mati kalah bersaing. Untuk mencegah PHK, menurut Ketua Komite Tetap Industri Makanan dan Minuman Kadin Indonesia Thomas Darmawan, segala aturan yang menimbulkan biaya tinggi atau menyulitkan dunia usaha harus dikurangi. Peraturan yang tidak mendukung, lama tunggu di pelabuhan, tumpang tindih rekomendasi, dan hambatan lain, harus dikurangi. Sebagian dari harapan itu sudah terangkum kebijakan “September 1”. Cuma, ketepatan waktu implementasinya, itulah masalah sesungguhnya. ***
Sementara itu, dalam industri tekstil dan produk tekstil (TPT), menurut Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat, tahun ini telah di-PHK sekitar 36 ribu orang. Industri TPT menyerap 2,656 juta tenaga kerja langsung. Karena itu, tegas Ade, industri ini memerlukan dukungan agar tak terjadi PHK yang lebih meluas. (Kompas.com, 12/9)
Salah satu dukungan dimaksud, menurut Ade, adalah meringankan beban industri melalui hal-hal yang di bawah kontrol pemerintah. Misalnya tarif listrik industri, sekarang sekitar 10 sen dolar AS per KWh, padahal di Vietnam hanya 6 sen. Pelaku industri Indonesia selama ini juga terbebani dua kali pajak di listrik, yakni PPN 10% dan pajak penerangan jalan umum yang bervariasi di tiap daerah.
Akibatnya, nilai ekspor tekstil Vietnam yang baru 15 tahun mengembangkan industri tekstil sudah menembus 28 miliar dolar AS, sedang Indonesia yang sudah 35 tahun ekspornya baru 13 miliar dolar AS. PHK harus dicegah karena menyengsarakan korbannya, yang secara ekonomi menurunkan daya beli masyarakat. Pengusaha juga babak belur, harus membayar pesangon justru ketika perusahaannya dalam kesulitan—alasan terpenting terpaksa melakukan PHK. Meluasnya PHK juga mènghambat investasi. Siapa mau investasi di negara tempat usaha yang sudah ada ramai bangkrut!
Dalam kondisi nyata demikian jangan pula pemerintah mengobral pembebasan pajak (tax holiday) 15—20 tahun agar investasi baru mau masuk, industri dalam negeri yang sudah eksis dan bayar pajak bisa mati kalah bersaing. Untuk mencegah PHK, menurut Ketua Komite Tetap Industri Makanan dan Minuman Kadin Indonesia Thomas Darmawan, segala aturan yang menimbulkan biaya tinggi atau menyulitkan dunia usaha harus dikurangi. Peraturan yang tidak mendukung, lama tunggu di pelabuhan, tumpang tindih rekomendasi, dan hambatan lain, harus dikurangi. Sebagian dari harapan itu sudah terangkum kebijakan “September 1”. Cuma, ketepatan waktu implementasinya, itulah masalah sesungguhnya. ***
0 komentar:
Posting Komentar