UUD—Undang-Undang Dasar—1945 Pasal 27 Ayat (1) yang menegaskan setiap warga negara sama di muka hukum, kini tidak berlaku lagi bagi para legislator, anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Itu sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat Selasa (22/9), mengoreksi Pasal 245 Ayat (1) UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang mengatur pemanggilan dan permintaan keterangan oleh penyidik terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Dalam putusan MK tersebut dialihkan bukan lagi izin dari MKD, melainkan untuk anggota MPR, DPR, dan DPD harus mendapat izin tertulis dari Presiden, untuk anggota DPRD provinsi dari Menteri Dalam Negeri, DPRD kabupaten/kota izin dari Gubernur. (Kompas.com, 23/9)
Menurut Majelis Hakim MK, pelaksanaan tugas anggota legislatif harus diimbangi dengan perlindungan hukum yang memadai dan proporsional sehingga anggota legislatif tidak dengan mudah dikriminalisasi pada saat dan atau dalam rangka menjalankan fungsi hak konstitusionalnya, sepanjang dilakukan dengan iktikad baik menurut tanggung jawab. (detik-news, 22/9) Keputusan terakhir ini menjadi wujud inkonsistensi MK.
Pada 2012, MK menghapus keharusan mendapatkan izin dari Presiden untuk melakukan pemeriksaan atau memita keterangan terhadap kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) terkait kasus pidana. Tapi kini, MK memberi kekebalan dengan perlindungan hukum khusus itu kepada anggota legislatif.
Karena Pasal 245 UU MD3 yang diperbaiki itu sifatnya mutlak melindungi anggota legislatif dalam segala jenis tindakan pidana, pelaksanaannya jelas akan bisa menghambat proses penegakan hukum. Terutama jika tindak pidana itu merugikan atau menyakiti pihak lain, rasa ketidakadilan langsung akan dirasakan lebih berat oleh korbannya.
Di lain sisi, terlalu mudahnya kriminalisasi dilakukan akhir-akhir ini, banyak pejabat jadi takut berurusan dengan dana anggaran hingga penyerapan anggaran amat rendah dan mengakibatkan pelambatan ekonomi, agak masuk akal juga kalau para anggota legislatif perlu diberi perlindungan dari gejala kriminalisasi.
Namun, untuk semua itu tentu harus tetap diusahakan cara-cara yang tidak kontroversial, apalagi bertentangan dengan konstitusi. Seperti dalam kasus ini, asas persamaan di muka hukum pada UUD 1945 Pasal 27 justru secara legal formal diamalkan menjadi ketidaksamaan di muka hukum. ***
Dalam putusan MK tersebut dialihkan bukan lagi izin dari MKD, melainkan untuk anggota MPR, DPR, dan DPD harus mendapat izin tertulis dari Presiden, untuk anggota DPRD provinsi dari Menteri Dalam Negeri, DPRD kabupaten/kota izin dari Gubernur. (Kompas.com, 23/9)
Menurut Majelis Hakim MK, pelaksanaan tugas anggota legislatif harus diimbangi dengan perlindungan hukum yang memadai dan proporsional sehingga anggota legislatif tidak dengan mudah dikriminalisasi pada saat dan atau dalam rangka menjalankan fungsi hak konstitusionalnya, sepanjang dilakukan dengan iktikad baik menurut tanggung jawab. (detik-news, 22/9) Keputusan terakhir ini menjadi wujud inkonsistensi MK.
Pada 2012, MK menghapus keharusan mendapatkan izin dari Presiden untuk melakukan pemeriksaan atau memita keterangan terhadap kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) terkait kasus pidana. Tapi kini, MK memberi kekebalan dengan perlindungan hukum khusus itu kepada anggota legislatif.
Karena Pasal 245 UU MD3 yang diperbaiki itu sifatnya mutlak melindungi anggota legislatif dalam segala jenis tindakan pidana, pelaksanaannya jelas akan bisa menghambat proses penegakan hukum. Terutama jika tindak pidana itu merugikan atau menyakiti pihak lain, rasa ketidakadilan langsung akan dirasakan lebih berat oleh korbannya.
Di lain sisi, terlalu mudahnya kriminalisasi dilakukan akhir-akhir ini, banyak pejabat jadi takut berurusan dengan dana anggaran hingga penyerapan anggaran amat rendah dan mengakibatkan pelambatan ekonomi, agak masuk akal juga kalau para anggota legislatif perlu diberi perlindungan dari gejala kriminalisasi.
Namun, untuk semua itu tentu harus tetap diusahakan cara-cara yang tidak kontroversial, apalagi bertentangan dengan konstitusi. Seperti dalam kasus ini, asas persamaan di muka hukum pada UUD 1945 Pasal 27 justru secara legal formal diamalkan menjadi ketidaksamaan di muka hukum. ***
0 komentar:
Posting Komentar