SETELAH merangkak dari kelas terbawah, akhirnya pembalap mobil Indonesia, Rio Haryanto, mendapat tempat di Kejuaraan Dunia Formula 1 (F1) 2016. Ini kelas tertinggi untuk balap mobil dunia yang dilaksanakan dalam 20 balapan semusim, sepanjang tahun.
Namun, untuk bisa tampil bersama tim Manor F1 selama semusim, Rio harus membayar 15 juta euro (sekitar Rp225 miliar). Untuk itu, dari sponsor utamanya Pertamina ia mendapat 5 juta euro atau sekitar Rp75 miliar. Lalu Menpora Imam Nahrawi melalui KONI yang didapat dari berbagai BUMN dan BUMS membantu Rp100 miliar. Jadi, masih kurang sekitar Rp50 miliar lagi. (Kompas.com, 23/1)
Untuk kekurangan yang Rp50 miliar itulah perlu dukungan dari segenap masyarakat Indonesia. Jangan sampai peluang yang sudah terbuka untuk kejuaraan dunia itu menjadi sia-sia hanya akibat ketiadaan dana. Kemungkinan terburuk sampai gagal ikut kejuaraan dunia F1 itu tidak boleh terjadi. Karena kegagalan itu bisa memengaruhi usaha Menpora untuk menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah F1 pada 2019.
Rencana tersebut merupakan peningkatan posisi Indonesia sebagai tuan rumah MotoGP tahun 2017, 2018, dan 2019, yang kontraknya dengan Dorna Sport sebagai penyelenggara MotoGP akan ditandatangani Menpora Februari ini. Penampilan Rio Haryanto pada kejuaraan dunia F1 juga amat dibutuhkan rakyat Indonesia yang sedang kelangkaan pujaan kelas dunia di bidang olahraga. Bulu tangkis timbul-tenggelam dalam persaingan dengan Tiongkok, Korea Selatan, Malaysia, bahkan Jepang! Apalagi sepak bola, prestasi olahraga yang paling digemari rakyat Indonesia ini pada tingkat ASEAN saja susah jadi juara.
Apalagi sekarang semua tingkat kompetisi sepak bola beku, tinggal tersisa dua atau tiga turnamen besar setahun yang terbatas untuk tontonan orang kota besar saja. Karena itu, dukungan terhadap Rio Haryanto untuk tampil di kejuaraan dunia F1 harus bersifat nyata. Kalau realisasi pengumpulan dana yang diperlukan untuk itu kurang lancar atau bahkan terkendala, mungkin perlu membuat "Dompet untuk Rio" guna menampung dukungan dari kalangan berduit, dan "Koin untuk Rio" untuk menampung dukungan dari rakyat kebanyakan sesuai kemampuannya.
Tapi karena rakyat amat mendambakan hadirnya bintang kelas dunia dari olahraga negerinya, semua itu tak kepalang untuk dilakukan. Jangan sampai terjadi, pemerintahnya ingin jadi tuan rumah balap F1, tapi seorang saja atletnya mau ikut kejuaraan F1 tak mampu membiayai. Kita pun jadi tertawaan dunia! ***
Untuk kekurangan yang Rp50 miliar itulah perlu dukungan dari segenap masyarakat Indonesia. Jangan sampai peluang yang sudah terbuka untuk kejuaraan dunia itu menjadi sia-sia hanya akibat ketiadaan dana. Kemungkinan terburuk sampai gagal ikut kejuaraan dunia F1 itu tidak boleh terjadi. Karena kegagalan itu bisa memengaruhi usaha Menpora untuk menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah F1 pada 2019.
Rencana tersebut merupakan peningkatan posisi Indonesia sebagai tuan rumah MotoGP tahun 2017, 2018, dan 2019, yang kontraknya dengan Dorna Sport sebagai penyelenggara MotoGP akan ditandatangani Menpora Februari ini. Penampilan Rio Haryanto pada kejuaraan dunia F1 juga amat dibutuhkan rakyat Indonesia yang sedang kelangkaan pujaan kelas dunia di bidang olahraga. Bulu tangkis timbul-tenggelam dalam persaingan dengan Tiongkok, Korea Selatan, Malaysia, bahkan Jepang! Apalagi sepak bola, prestasi olahraga yang paling digemari rakyat Indonesia ini pada tingkat ASEAN saja susah jadi juara.
Apalagi sekarang semua tingkat kompetisi sepak bola beku, tinggal tersisa dua atau tiga turnamen besar setahun yang terbatas untuk tontonan orang kota besar saja. Karena itu, dukungan terhadap Rio Haryanto untuk tampil di kejuaraan dunia F1 harus bersifat nyata. Kalau realisasi pengumpulan dana yang diperlukan untuk itu kurang lancar atau bahkan terkendala, mungkin perlu membuat "Dompet untuk Rio" guna menampung dukungan dari kalangan berduit, dan "Koin untuk Rio" untuk menampung dukungan dari rakyat kebanyakan sesuai kemampuannya.
Tapi karena rakyat amat mendambakan hadirnya bintang kelas dunia dari olahraga negerinya, semua itu tak kepalang untuk dilakukan. Jangan sampai terjadi, pemerintahnya ingin jadi tuan rumah balap F1, tapi seorang saja atletnya mau ikut kejuaraan F1 tak mampu membiayai. Kita pun jadi tertawaan dunia! ***
0 komentar:
Posting Komentar