PERKIRAAN perusahaan investasi global Goldman & Sach saat harga minyak dunia turun ke bawah 100 dolar AS per barel, bahwa harga minyak mentah dunia akan terus merosot hingga 20-an dolar AS per barel, Senin (18/1) menjadi kenyataan.
Dilansir Reuters (18/1), harga minyak jenis Brent untuk pengiriman Meret 2016 turun 1,14 dolar AS per barel menjadi 27,8 dolar AS per barel. Sedang minyak produksi AS untuk pengiriman Februari 2016 turun 86 sen menjadi 28,56 dolar AS per barel. (detik-finance, 18/1)
Menurut laporan itu, penurunan harga minyak terakhir ini dipicu oleh pencabutan sanksi ekonomi terhadap Iran oleh AS dan Uni Eropa. Dengan begitu, Iran kembali bebas mengekspor produksi minyak buminya sehingga kelebihan pasokan di pasar internasional akan semakin berlimpah.
Sebelum revolusi, di era Shah Reza Pahlevi, Iran merupakan negara pengekspor minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi. Semakin murahnya harga minyak dunia tentu merupakan kabar gembira bagi Indonesia yang kini telah menjadi negara net importer BBM. Karena, akan semakin kecil jumlah devisa yang digunakan untuk membayar pembelian BBM.
Bahkan subsidi untuk PLN yang sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar, jumlah penggunaannya juga akan menurun. Sejalan dengan itu pula, tarif listrik kepada konsumen juga secara bertahap akan terus turun setelah yang berlaku Januari 2016. Sisa masalah bagi Indonesia mungkin pada anomali harga premium dan solar, yang justru saat harga minyak mentah dunia sudah di level 20-an dolar AS per barel, konsumen negeri penghasil minyak ini justru harus membayar lebih mahal dari saat harga BBM dunia di atas 100 dolar AS per barel.
Ditambah pungutan di luar ketentuan UU APBN pula. Penyesuaian harga BBM di Indonesia memang tak bisa dilakukan dengan lincah karena ada semacam komitmen dengan DPR untuk melakukan penyesuaian berkala tiga atau enam bulan sekali. Padahal, harga premium sekarang sudah dilepas tanpa subsidi, seyogianya perubahan dilakukan on time mengikuti dinamika pasar. Namun demikianlah di Indonesia, meski konsumen sudah membeli premium dengan harga sesuai pasar, selain pungutan non-APBN konsumen juga dibebani kelebihan harga menunggu jadwal penyesuaian.
Akibat kebanyakan beban tambahan yang harus dipikul, perekonomian rakyat Indonesia beringsut cukup berat untuk maju, dibanding beban rakyat Malaysia dan Filipina—dalam rangka MEA misalnya—yang beban suku bunga acuan di dua negara itu juga cuma 3,5%. ***
Menurut laporan itu, penurunan harga minyak terakhir ini dipicu oleh pencabutan sanksi ekonomi terhadap Iran oleh AS dan Uni Eropa. Dengan begitu, Iran kembali bebas mengekspor produksi minyak buminya sehingga kelebihan pasokan di pasar internasional akan semakin berlimpah.
Sebelum revolusi, di era Shah Reza Pahlevi, Iran merupakan negara pengekspor minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi. Semakin murahnya harga minyak dunia tentu merupakan kabar gembira bagi Indonesia yang kini telah menjadi negara net importer BBM. Karena, akan semakin kecil jumlah devisa yang digunakan untuk membayar pembelian BBM.
Bahkan subsidi untuk PLN yang sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar, jumlah penggunaannya juga akan menurun. Sejalan dengan itu pula, tarif listrik kepada konsumen juga secara bertahap akan terus turun setelah yang berlaku Januari 2016. Sisa masalah bagi Indonesia mungkin pada anomali harga premium dan solar, yang justru saat harga minyak mentah dunia sudah di level 20-an dolar AS per barel, konsumen negeri penghasil minyak ini justru harus membayar lebih mahal dari saat harga BBM dunia di atas 100 dolar AS per barel.
Ditambah pungutan di luar ketentuan UU APBN pula. Penyesuaian harga BBM di Indonesia memang tak bisa dilakukan dengan lincah karena ada semacam komitmen dengan DPR untuk melakukan penyesuaian berkala tiga atau enam bulan sekali. Padahal, harga premium sekarang sudah dilepas tanpa subsidi, seyogianya perubahan dilakukan on time mengikuti dinamika pasar. Namun demikianlah di Indonesia, meski konsumen sudah membeli premium dengan harga sesuai pasar, selain pungutan non-APBN konsumen juga dibebani kelebihan harga menunggu jadwal penyesuaian.
Akibat kebanyakan beban tambahan yang harus dipikul, perekonomian rakyat Indonesia beringsut cukup berat untuk maju, dibanding beban rakyat Malaysia dan Filipina—dalam rangka MEA misalnya—yang beban suku bunga acuan di dua negara itu juga cuma 3,5%. ***
0 komentar:
Posting Komentar